Setiap tahun, menjelang bulan puasa dan hari raya, kaum muslimin di
berbagai Negara selalu dibuat ribut oleh sebuah dilema, apakah mereka
akan berpuasa dan berhari raya mengikuti Negara masing-masing ataukah
mengikuti ru’yah salah satu negara yang lebih dahulu melihat hilal?!
Masalah ini tidak mungkin kita anggap sebagai masalah yang sepeleh,
karena berkaitan erat dengan salah satu syi’ar Islam. Akankah syi’ar
Islam yang sangat mulia tersebut kita inginkan menjadi sebuah perpecahan
dan keributan?!! Inginkah kita melihat persengkatan dan kebingungan
orang-orang awam hanya untuk mempertahankan pendapat kita atau kelompok
kita dalam masalah ijtihadiyyah seperti ini?!
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kami ingin memberikan sedikit
kalimat tentang masalah ini, dengan tetap menghormati orang yang
menyelisihi pendapat kami. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Masalah Khilafiyyah
Masalah ini diperselisihkan ulama sejak dulu hingga sekarang:
1. Apabila hilal terlihat di suatu negeri maka negeri lainnya tidak
harus mengikutinya. Pendapat ini dikuatkan oleh sebagian Hanafiyyah,
sebagian Malikiyyah dan mayoritas Syafi’iyyah, sebagian Hanabilah dan
dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
2. Apabila hilal terlihat di suatu negeri maka wajib bagi semua
negeri untuk mengikutinya. Pendapat ini dikuatkan oleh mayoritas
Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan sebagian Syafi’iyyah.[1]
Pendapat yang kuat menurut keyakinan kami adalah pendapat pertama
apabila telah tetap ru’yah di suatu negeri maka hukumnya berlaku bagi
negeri tersebut dan negeri yang semisalnya dalam mathla’ hilal[2],
sebab mathla’ hilal itu berbeda-beda dengan kesepakatan ahli ilmu
falak. Pendapat ini sangat kuat sekali dan didukung oleh nash dan
qiyas.
Adapun nash, maka berdasarkan hadits Kuraib bahwasanya Ummul
Fadhl binti Harits pernah mengutusnya ke Muawiyah di Syam, lalu beliau
pulang dari Syam ke Madinah di akhir bulan. Ibnu Abbas bertanya
kepadanya tentang hilal, Kuraib menjawab: Kami melihatnya malam jum’at.
Ibnu Abbas berkata: Tetapi kami melihatnya malam sabtu, maka kamipun
tetap berpuasa sampai kami menyempurnakan tiga puluh hari atau melihat
hilal. Kuraib bertanya: Mengapa engkau tidak mencukupkan dengan ru’yah
Muawiyah? Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah
memerintahkan kepada kami”. (Muslim: 1087).
Segi pendalilan dari hadits ini bahwa Ibnu Abbas tidak mengambil
ru’yah penduduk Syam ketika dia di Madinah, bahkan beliau mengatakan:
“Demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kami”. Hal ini menunjukkan
bahwa pendapat tersebut bukanlah ijtihad Ibnu Abbas bahkan jelas
hukumnya sampai kepada Nabi. Hadits ini merupakan hujjah bahwa Negara
apabila berjauhan seperti jauhnya Syam dan Hijaz, maka setiap Negara
mengambil ru’yah negaranya sendiri, bukan ru’yah Negara lainnya”.[3]
Adapun dalil qiyas, karena sebagaimana kaum muslimin
berbeda-beda dalam waktu harian, dalam waktu sholat mereka, waktu suhur
dan berbuka mereka, maka demikian pula mereka pasti berbeda dalam waktu
bulanan. Sungguh ini meruakan qiyas yang sangat jelas sekali.
Dan kita yakin juga bahwa perbedaan seperti ini sudah ada sejak zaman
dahulu, di masa sahabat dan tabi’in, tetapi tidak ada penukilan bahwa
mereka saling menulis surat kepada seluruh negeri untuk memberitakan
bahwa di negeri ini atau itu telah terlihat hilal maka wajib bagi kalian
untuk mengikutinya. Seandainya hal itu terjadi, tentu akan dinukil
kepada kita. Tatkala tidak ada nukilan tersebut, maka hal itu
menunjukkan tidak adanya.[4]
Serahkan Kepada Pemerintah Masing-Masing
Kami tidak ingin memaksakan pendapat kami untuk diikuti oleh selain
kami. Namun ada satu hal yang harus kita fikirkan bersama, yaitu bahwa
masalah ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyah maka hendaknya kaum
muslimin menyerahkan dan mengikuti pemerintah mereka dalam memilih di
antara pendapat di atas agar tidak terjadi perbedaan dan perpecahan di
kalangan kaum muslimin, sebab sebagaimana diketahui bersama persatuan
adalah sesuatu yang sangat ditekankan dalam syariat Islam. Inilah yang
dinasehatkan oleh Majlis Dewan Ulama Besar Saudi Arabia dan Majlis Dewan
Fiqih Islami, dimana mereka menetapkan masalah ini agar menyerahkan
penetapan hilal kepada pemerintah masing-masing negara, karena hal itu
lebih membawa kepada kemaslahatan umum bagi kaum muslimin.[5]
Mengapa Harus Mengikuti Pemerintah?
Ada beberapa argumen kuat yang mendasari nasehat para ulama tersebut, terlepas dari perbedaan pendapat dalam masalah ini.
- Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah:
الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
Puasa itu hari manusia berpuasa dan hari raya itu hari manusia berhari raya.
Ash-Shon’ani berkata: “Hadits ini merupakan dalil bahwa patokan hari
raya adalah bersama manusia dan bahwa orang yang melihat hilal ied
sendirian dia harus mengikut kepada yang lain dalam sholat, idhul fithri
dan adha”.[6]
Syaikh al-Albani berkata: “Inilah yang sesuai dengan syari’at yang
mulia ini, yang bertujuan untuk menyatukan barisan kaum muslimin dan
menjauhkan mereka dari perpecahan. Syari’at tidak menganggap pendapat
pribadi -sekalipun dalam pandangannya benar- dalam ibadah jama’iyyah
seperti puasa, hari raya dan sholat jama’ah”.[7]
- Hal ini sesuai dengan kaidah:
حُكْمُ الْحَاكِمِ يَرْفَعُ الْخِلاَفَ
Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.
Oleh karenanya, para fuqoha’ bersepakat bahwa hukum/keputusan
pemerintah dalam masalah ini menyelesaikan perselisihan dan perbedaan
pendapat[8].
- Hal ini akan membawa kemaslahatan persatuan kaum muslimin.
Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syaukani tatkala mengatakan:
“Persatuan hati dan persatuan barisan kaum muslimin serta membendung
segala celah perpecahan merupakan tujuan syari’at yang sangat agung dan
pokok di antara pokok-pokok besar agama Islam. Hal ini diketahui oleh
setiap orang yang mempelajari petunjuk Nabi yang mulia dan dalil-dalil
Al-Qur’an dan sunnah”.[9]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “Sesungguhnya kaidah
agama yang paling penting dan syari’at para Rasul yang paling mulia
adalah memberikan nasehat kepada seluruh umat dan berupaya untuk
persatuan kalimat kaum muslimin dan kecintaan sesama mereka, serta
berupaya menghilangkan permusuhan, pertikaian dan perpecahan di antara
mereka.
Kaidah ini merupakan kebaikan yang sangat diperintahkan dan
melailaikannya merupakan kemunkaran yang sangat dilarang. Kaidah ini
juga merupakan kewajiban bagi setiap umat, baik ulama, pemimpin maupun
masyarakat biasa. Kaidah ini harus dijaga, diilmui dan diamalkan karena
mengandung kebaikan dunia dan akherat yang tiada terhingga”.[10]
Bagaimana dengan Idhul Adha?
Tahun-tahun akhir ini sering terjadi perbedaan dalam hilal Dzulhijjah, sehingga kaum muslimin-pun terpecah sebagai berikut:
- Ada yang ikut pemerintah dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak
- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah dan idhul adha secara mutlak
- Ada yang ikut Saudi Arabia dalam Arofah saja, sedangkan idhul adha tetap ikut pemerintah[11].
Masalah ini juga masalah yang diperselisihkan ulama[12],
tidak jauh dengan masalah puasa dan idhul fithri. Adapun pendapat yang
kuat menurut kami adalah tetap ikut Negara masing-masing. Hal ini
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, beliau berkata:
“Demikian juga hari Arofah, ikutilah negara kalian masing-masing”.[13] Kata beliau juga: “Hukumnya satu, sama saja (baik dalam idhul fithri maupun idhul adha)”.[14]
Pendapat ini dikuatkan oleh hadits Nabi:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Puasa itu hari kalian berpuasa semua, idhul fithri itu hari kalian
idhul fithri semua, dan idhul adha itu hari kalian idhul adha semua.
Perhatikanlah, Nabi tidak membedakan antara idhul fithri dan idhul adha. Abul Hasan as-Sindi berkata dalam Hasyiyah Ibnu Majah:
“Dhohir hadits ini bahwa masalah-masalah ini (puasa, idhul fithri dan
idhul adha) bukan urusan pribadi, tetapi dikembalikan kepada imam dan
jama’ah. Dan wajib bagi personil untuk mengikuti imam dan jama’ah. Oleh
karenanya, apabila seorang melihat hilal lalu imam menolak persaksiannya[15], hendaknya dia tidak mengikuti pendapatnya tetapi dia harus mengikuti jama’ah dalam hal itu”.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa Arofah ikut Saudi karena Arofah
itu berkaitan dengan tempat, sedangkan Arofah hanya ada di Saudi
Arabia, maka pendapat ini perlu ditinjau ulang kembali, karena beberapa
hal:
1. Akar perbedaan ulama dalam masalah ini bukan karena Arofah itu
berkaitan dengan tempat atau tidak, tetapi kembali kepada masalah ru’yah
hilal Dzulhijjah, apakah bila terlihat di suatu Negara maka wajib bagi
Negara lainnya untuk mengikutinya ataukah tidak?! Dengan demikian, maka
patokan Arofah adalah tanggal sembilan Dzulhijjah, adapun istilah
“Arofah” hanya sekedar mim bab Taghlib (kebanyakan saja).
2. Kalau akar permasalahannya adalah karena tempat, hal itu berarti
semua kaum muslimin harus mengikuti ru’yah Dzulhijjah Saudi Arabia,
sedangkan hal ini tidak mungkin kalau tidak kita katakan mustahil,
karena dua sebab:
Pertama: Para ulama falak -seperti dinukil oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah- telah bersepakat bahwa mathla’ hilal itu berbeda-beda.
Dengan demikian maka mustahil bila semua kaum muslimin di semua Negara
ikut ru’yah Saudi Arabia, karena dimaklumi bersama bahwa antara jarak
antara Negara bagian barat dan timur sangat jauh sehingga menyebabkan
perbedaan tajam tentang waktu terbit dan tenggelamnya matahari, mungkin
matahari baru terbit di suatu tempat sedangkan dalam waktu yang
bersamaan matahari di tempat yang lain akan terbenam?! Lantas, bagaimana
mungkin semua kaum muslimin sedunia bisa berpuasa dan hari raya dalam
satu waktu?!!
Saudaraku, setiap muslim -khususnya saudara-saudara dari bangsa Arab-
mendambakan untuk bisa menyambut dalam puasa dan hari raya secara
bersatu. Tetapi, dampaan ini sulit atau mustahil terwujudkan karena
perbedaan mathla’ tadi.
Namun, hendaknya kita berfikir sejenak; Apakah persatuan kaum
muslimin hanya dengan cara seperti ini? Ataukah dengan persatuan
aqidah?! Bukankah perbedaan seperti ini sudah ada semenjak masa sahabat,
lantas bukankah mereka tetap bisa menjaga persatuan mereka dan tidak
berpecah belah hanya karena perbedaan ini?! Apakah kita lebih
bersemangat mewujudkan persatuan daripada mereka?! Sesungguhnya hari
raya bukanlah hanya sekedar dengan penampilan dan baju baru, tetapi
kegembiraan dan ibadah.[16]
Kedua: Kalau semua kaum muslim sedunia harus mengikuti ru’yah
Saudi dalam Arofah, kita berfikir jernih dan bertanya-tanya: Kalau
begitu, bagaimana dengan orang-orang dulu yang tidak memiliki Hp atau
telpon seperti pada zaman sekarang?! Apakah mereka menunggu khabar dari
saudara mereka yang berada di Arofah saat itu?! Apakah perbedaan seperti
ini hanya ada pada zaman kita saja?! Bukankah perbedaan seperti sudah
ada sejak dahulu?! Al-Hafizh Ibnu Rojab menceritakan bahwa pada tahun
784 H terjadi perselisihan di Negerinya tentang hilal Dzul Qo’dah yang
secara otomatis terjadi perbedaan tentang hari Arofah dan idhul adha-nya[17]. Seandainya para ulama dulu ikut ru’yah Saudi Arabia, lantas kenapa ada perselisihan semacam ini?!
Ala kulli hal, kami menyadari bahwa masalah ini adalah masalah
khilafiyyah mu’tabar, namun sebagai usaha persatuan kaum muslimin, kami
menghimbau agar kaum muslimin tidak menyelisihi pemerintah mereka
masing-masing karena hal itu berdampak negatif yang tidak sedikit,
apalagi ini merupakan himbaun Majlis Ulama Indonesia (MUI), yang dalam
hal ini mewakili pemerintahan Indonesia[18].
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata: “Qiyas madzhab Ahmad bahwa seorang
tidak boleh menyelisihi jama’ah dengan berbuka puasa ketika pemerintah
dan manusia berpuasa, karena bila kita memerintahkan mereka untuk
berbuka puasa dan melarang puasa niscaya akan timbul dampak negatif
menyelisihi pemerintah dan jama’ah kaum muslimin. Hal ini tidak mungkin
samar, bahkan akan nampak sekali seperti yang terjadi pada tahun ini,
sehingga manusia menjadikannya idhul adha dan menyembelih kurban-kurban
sebagaimana terjadi tahun ini. Semua ini sangat menentang pemerintah dan
jama’ah kaum muslimin, memecah belah persatuan, dan menyerupai ahli
bid’ah seperti Rafidhah dan sejenisnya yang menyendiri dari kaum
muslimin dalam puasa, idhul fithri dan hari raya. Maka tidak boleh
menyerupai mereka”.[19]
Bila ada yang berkata: “Pendapat ini berarti menjadikan pemerintah
sebagai Tuhan selain Allah”. Maka kami katakan: Ini meletakkan sesuatu
bukan pada tempatnya, ucapan ini kalau memang pemerintah merubah
ketentuan syari’at lalu kita mengikutinya, adapun masalah kita sekarang
adalah masalah ijtihadiyyah dan khilafiyyah yang mu’tabar, maka sangat
tidak tepat sekali ucapan di atas diletakkan dalam masalah ini. Wallahu
A’lam.[20]
Dan bila ada yang berkata: “Pendapat ini menunjukkan kalian adalah
penjilat pemerintah”. Kami katakan: Wahai saudaraku, jagalah lidahmu
sebelum engkau mengeluarkan kata, kami tidak menginginkan kecuali
kebaikan dan berusaha menuju persatuan. Alhamdulillah, kami bukanlah
orang pemerintahan dan tidak terlintas dalam benak kami untuk berambisi
dengan kekuasaan di pemerintahan. Hanya kepada Allah kita memohon
kebaikan bagi kita semua.
Nasehat dan Kesimpulan
Jelaslah kiranya bahwa masalah ini adalah masalah
yang diperselisihkan ulama sejak dahulu hingga sekarang, hanya saja ada
beberapa point yang ingin kami tekankan di sini:
1. Masalah ini bukan masalah pribadi tetapi masalah yang berkaitan
dengan jama’ah dan syi’ar. Oleh karenanya, masalah ini dikembalikan
kepada pemerintah dan jama’ah, dan hendaknya bagi pribadi orang untuk
mengikuti jama’ah.
2. Hendaknya bagi semuanya untuk bertaqwa kepada Allah dalam ibadah
mereka dan ibadah manusia, dan hendaknya pedoman mereka dalam memilih
pendapat adalah karena dalil, bukan karena fanatik golongan, Negara atau
madzhab.
3. Hendaknya semuanya memahami bahwa masalah ini adalah masalah
perselisihan ulama yang mu’tabar, maka janganlah perselisihan ini
menyebabkan permusuhan dan perpecahan dan hendaknya semuanya memahami
bahwa persatuan kalimat dan barisan adalah pokok penting dalam agama
Islam.
4. Anggaplah seandainya suatu Negara memilih pendapat yang lemah
dalam masalah ini, maka hendaknya bagi kaum muslimin untuk tidak
menampakkan perbedaan pendapat apabila hal itu akan menyulut
perselisihan dan janganlah kaum muslimin mencela pemerintah dalam
pilihan mereka.
Sungguh sangat disayangkan sekali, bila ibadah yang mulia ini
dijadikan alat untuk fanatik golongan, fanatic Negara atau membela
pendapat, sehingga masing-masing berusaha agar pendapatnya didengar oleh
masyarakat dengan embel-embel agama, tanpa menjaga kaidah masalahat dan
mengamalkan dalil terkuat!!!
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kita ilmu pengetahuan dalam
agama dan mengikuti Nabi secara sempurna serta kesungguhan dalam
persatuan kaum muslimin di atas petunjuk yang lurus. [21]
Oleh: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
[1] Lihat keterangan referensi dan dalil-dalilnya dalam kitab Atsar Taqniyah Haditsah fil Khilaf Fiqhi, DR. Hisyam bin Abdul Malik Alu Syaikh hlm. 219-230.
[2] Para ulama bersepakat bahwa suatu Negara apabila berdekatan maka dia dihukumi satu Negara. Lihat Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 25/103 dan al-Istidzkar Ibnu Abdil Barr 10/30.
[3] Lihat al-Mufhim al-Qurthubi 3/142, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an al-Qurthubi 2/295, Nailul Author asy-Syaukani 4/230.
[4] Lihat Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 25/108.
[5] Lihat Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 20/ 43-62, Syarh Mumti’ 6/308-311, Taudhihul Ahkam 3/454-456 oleh Abdullah Al-Bassam, Majmu’ Fatawa Syaikh Abdul Aziz bin Baz 8/295, Fatawa Lajnah Daimah 12/123.
[6] Subulus Salam 2/72
[7] Silsilah Ahadits ash-Shohihah 1/444.
[8] Lihat Al-Istidzkar Ibnu Abdil Barr 10/29 dan Rosail Ibnu Abidin 1/253.
[9] Al-Fathur Robbani 6/2847-2848.
[10] Risalah fil Hatstsi ‘ala Ijtima’ Kalimatil Muslimin wa Dzammit Tafarruq wal Ikhtilaf hlm. 21.
[11]
Pendapat yang ketiga ini belum kami jumpai dari ulama salaf dahulu yang
berpendapat seperti ini. Kami sangat mengharapkan dan menanti masukan
dari para ustadz dan ikhwan yang mengikuti pendapat ini. Barokallahu Fikum.
[12]
Oleh karena itu, tidak pantas menggelari orang yang mengikuti
pemerintah dalam masalah ini dengan antek pemerintah, menjadikan
pemerintah sebagai thaghut dan seterusnya, sebagaimana juga tidak boleh
menggelari orang yang tidak mengikuti pemerintah dengan khowarij,
pemberontak dan sebagainya. Kita berdoa kepada Allah agar menyatukan
barisaan kaum muslimin. Amiin.
[13] Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/41.
[14] Idem 19/43.
[15]
Sebagaimana sering terjadi, ketika pemerintah menetapkan hari puasa dan
hari raya, lalu disebarkan berita bahwa hilal telah terlihat di tempat
ini dan itu. Maka dalam kondisi seperti ini hendaknya kaum muslimin
tetap ikut keputusan pemerintah karena ada dua kemungkinan: Pertama:
Persaksian mereka telah sampai kepada pemerintah namun tidak diterima
dengan alasan syar’I. Dalam kondisi ini jelas kita mengikuti pemerintah.
Kedua: Pemerintah menolak dengan alasan yang tidak syar’I. Dalam
kondisi inipun, tetap kaum muslimin hendaknya mengikuti pemerintah,
kalaulah pemerintah menolak dengan alasan yang tidak syari’I maka
biarlah dosa yang mereka tanggung, bukan kaum muslimin. (Lihat Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 25/206).
[16] Lihat Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh, Muhammad Burhanuddin hlm. 98-99. Lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 19/47.
[17] Risalah fi Ru’yati Dzil Hijjah (2/599 -Majmu Rosail Ibnu Rojab-).
[18] Lihat Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia hlm. 42
[19] Risalah fi Hilal Dzil Hijjah 2/606-607.
[20] Idem 2/608.
[21] Lihat Hakadza Kaana Nabi fi Romadhan hlm. 19-21, Faishol bin Ali al-Ba’dani.
copas from http://abiubaidah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar