DEFINISI
Taqsith secara bahasa
adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.
Adapun secara
istilah, ada beberapa definisi dikalangan para penulis masalah ini yang mungkin
bisa didekatkan pengertiannya dalam definisi berikut ini ; Jual beli secara
taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan
dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan
jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan.
Contoh : Seseorang
membeli mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan membayar pada setiap
bulannya sebanyak Rp. 10.000.000,- selama sepuluh bulan. Dimana harga mobil ini
secara kontan hanya Rp. 90.000.000,-.
HUKUM JUAL BELI SECARA TAQSITH
Ada dua pendapat di
kalangan para ulama tentang hukum jual beli secara taqsith ini, yakni sebagai
berikut :
Pendapat Pertama :
Bolehnya jual beli secara taqsith. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama (kebanyakan
ulama) dari kalangan shahabat, tabi’in dan para Imam Ahli Ijtihad -termasuk
didalamnya para pengikut fiqh empat madzhab-. Bahkan sebahagian ulama menukil
kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal ini.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz
bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan
semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent)
dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab : “Sesungguhnya
Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari
menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah
seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya.”.
(Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal.
57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda
yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga
300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan ; apakah hal tersebut
halal baginya. Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk
diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya
sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). [Majmu’ Al-Fatawa 29/501].
Dan hukum bolehnya
ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia, keputusan Majma’
Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7)[3], kesimpulan dalam
AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih
Al-‘Utsaimin, Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan, Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul
‘Aziz Alu Asy-Syaikh dan kebanyakan ulama di zaman ini.
Pendapat Kedua :
Tidak bolehnya jual beli secara taqsith. Dinukil oleh Imam Asy-Syaukany dalam
Nailul Authar 5/162 (cet. Darul Kutub) dari Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dan
beberapa orang Syiah. Diantara ulama zaman ini yang berpendapat tentang tidak
bolehnya adalah Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy
rahimahumallah.
DALIL-DALIL SETIAP
PENDAPAT
Pendapat Pertama
Adapun pendapat
pertama, para penganutnya mempunyai dalil yang banyak, di antaranya sebagai
berikut :
Pertama : Asal dalam
setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. karena tidak ada nash/dalil yang
menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan
dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu
dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan
kaidah/dhobith ini.
Kedua : Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman , artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara
kamu”. (QS. An-Nisa` : 29)
Sisi pendalilan :
Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka
sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat.
Ketiga : Hadits Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang yang memberi
salaf pada korma maka hendaknya memberi salaf pada takaran yang dimaklumi dan
timbangan yang dimaklumi sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh diatas bagi Imam
Muslim)
Hadits diatas
menunjukkan bolehnya As-Salam atau As-Salaf yaitu transaksi pada suatu barang
yang maklum ; jelas sifatnya dan bentuknya, dibayar di depan kepada si penjual
dan diambil pada waktu yang telah disepakati.
Contoh : Seperti
penjual roti yang telah membayar harga 3000 buah roti tertentu kepada pabrik
roti dengan perjanjian ia mengambilnya dari pabrik roti sebanyak 100 buah roti
setiap harinya selama 30 hari.
As-Salam atau
As-Salaf ini adalah diperbolehkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para
ulama.
Dari uraian diatas,
ditarik suatu pendalilan tentang bolehnya jual beli secara Taqsith karena ia
merupakan kebalikan dari As-Salam atau As-Salaf. Dan pada keduanya ada kesamaan
jenis dari sisi adanya perbedaan antara harga dan barang, yaitu pada As-Salam
atau As-Salaf, pembeli menyerahkan harganya kepada penjual dan mengambil
barangnya selang beberapa waktu kemudian sesuai dengan perjanjian guna
mendapatkan potongan harga semantara jual beli secara taqsith penjual
menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur guna mendapat
tambahan harga.
keempat : Hadits
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata :
“Bariroh datang kepadaku lalu berkata : “Sesungguhnya saya melakukan mukatabah
[*] terhadap keluargaku (tuanku,-pent.) dengan sembilan auqiyah, pada tiap
tahunnya satu auqiyah[**] maka bantulah saya”. Maka ‘Aisyah berkata : “Kalau
keluargamu suka aku akan menyiapkan persiapan sekaligus bagi mereka dan saya
membebaskanmu, maka saya akan kerjakan dan hendaknya wala`mu adalah milikku”.
Maka ia (Bariroh) pergi kepada keluarganya dan mereka enggan hal tersebut
atasnya. Kemudian ia (Bariroh) berkata (kepada Aisyah,pent) : “Saya telah menawarkan
hal tersebut pada mereka dan mereka enggan kecuali wala`nya untuk mereka”. Maka
hal tersebut didengar oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa
sallam lalu beliau bertanya kepadaku maka saya kabarkanlah hal tersebut
kepadanya maka beliau bersabda : “Ambillah ia dan bebaskanlah serta syaratkan
wala` terhadap mereka karena sesungguhnya wala` itu bagi siapa yang
membebaskan”….”
Berkata Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baz rahimahullah : “Dan berdasarkan kisah Bariroh yang tsabit
(tetap,pasti) dalam Ash-Shohihain, karena Ia (Bariroh) menebus dirinya dari
tuannya dengan (harga) sembilan auqiyah pada setiap tahunnya satu auqiyah dan
ini adalah jual beli secara taqsith. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengingkari hal tersebut bahkan beliau menetapkannya dan tidak melarang
darinya. Dan tidak ada perbedaan antara harganya semisal dengan (harga) barang
tersebut dijual dengannya secara kontan atau lebih dari hal tersebut karena
(kelonggaran) waktu” [Fatawa Islamiyah 2/239].
Berkata Syaikh Sholih
bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh : “Didalamnya terdapat dalil tentang bolehnya
jual beli secara taqsith karena Bariroh menebus dirinya secara taqsith sampai
sembilan auqiyah, pada setiap tahun satu auqiyah…”. Dari Syarah Kitabul Buyu’
Bulughul Maram.
[*] Mukatabah adalah
kesepakatan seorang budak untuk menebus dirinya dari tuannya dengan sejumlah
harga tertentu dengan pembayaran yang telah ditentukan waktunya.
[**] Satu Auqiyah
adalah 40 dirham dan satu dirham adalah seperdua tambah seperlima mitsqol dan
satu mitsqol adalah 4.25 gr, berarti satu Auqiyah sejumlah 119 gr. Baca
Taudhihul Ahkam.
Pendapat Kedua
Adapun penganut
pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan
Al-Hadits yang pendalilannya bertumpu penuh pada hadits Abu Hurairah dan hadits
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yang dianggap terdapat didalamnya larangan tegas
dari jual beli secara taqsith. Hadits-hadits itu adalah :
pertama : Hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa
sallam bersabda : “Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi
maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”. (HR. Ibnu Abi
Syaibah, Abu Daud, Ibnu Hibban dan lanilla).
Sisi pendalilan : Hadits
ini menunjukkan haramnya jual beli secara taqsith dengan adanya penambahan pada
harga kredit diatas harga kontan. Dan padanya juga dua penjualan, secara kontan
dan kredit pada satu transaksi, sehingga pada hal ini tidak lepas dari dua
kemungkinan yaitu mengambil yang paling sedikit berupa harga kontan atau
melakukan riba dengan mengambil harga kredit. Demikianlah hadits ini telah
ditafsirkan oleh sebahagian ulama salaf bahwa makna dua penjualan dalam satu
transaksi adalah jika seseorang berkata : “Barang ini secara cicil dengan harga
sekian dan secara kontan dengan harga sekian”.
Dan dikuatkan pula
oleh ucapan Ibnu Mas’ud : “Transaksi
dalam dua penjualan adalah riba”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam
Ash-Shohihah 5/420 dan Al-Irwa` 5/148/1307).
kedua : Hadits
‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi
wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Tidaklah halal pinjaman bersamaan dengan
jual beli dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”. (Dihasankan oleh
Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1305-1306).
Sisi pendalilan :
Konteks “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” ditafsirkan oleh Al-Khaththoby dengan
perkataan seseorang : “Saya jual pakaian ini ini secara kontan dengan satu
dinar dan secara kredit dengan dua dinar”.
TARJIH
Di antara dua
pendapat di atas, yang rajih (terkuat) Insya Allah adalah pendapat pertama,
yakni dibolehkannya jual beli secara kredit (taqsith). Hal ini didasarkan atas
beberapa alasan, yakni :
§ Kandungan hadits Abu Hurairah yang
digunakan oleh kelompok kedua diatas, tidaklah mencakup masalah jual beli
secara taqsith karena seorang penjual –misalnya- bila menetapkan harga barang
yang berbeda-beda berdasarkan panjang waktu kredit, lalu datang seorang pembeli
dan bersepakat dengan penjual untuk mengambil barang tersebut dengan suatu
harga tertentu dan jangka waktu kredit yang telah ditetapkan maka tentunya yang
ada hanya satu transaksi ; tidak ada akad transaksi sebelumnya dan tidak pula
ada transaksi setelah penjual dan pembeli bersepakat diatas suatu harga.
Karena itu Ibnul
Qoyyim berkata : “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa
(pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara
kontan, tidak ada disini (dalam jual beli secara taqsith,-pent.) riba, tidak
pula jahalah (ketidak jelasan), ghoror, qimar dan tidak (pula) ada sesuatu dari
kerusakan. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan
dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi
selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Baca : I’lamul Muwaqqi’in
3/150.
Ibnul Qayyim
rahimahullah beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah di atas pengertiannya
hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ‘Inah saja, tidak pada yang lainnya
(bukan taqsith).
§ Adapun penafsiran makna dua penjualan dalam
satu transaksi dengan perkataan sesorang : “Barang ini secara cicil dengan
harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”, ini adalah menyelisihi
penafsiran jumhur ulama (kebanyakan ulama).
Berkata Imam
At-Tirmidzy setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu
menafsirkannya, mereka berkata : “Dua penjualan dalam satu transaksi adalah
(seseorang) berkata : “Saya menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai)
sepuluh dan dengan berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (baca :
tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya
diatas salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah
satu dari keduanya.
Berkata Imam
Asy-Syafi’iy : “Dan dari makna larangan Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi
wa sallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata : “Saya
menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan
(harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku
untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang
pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya
terjadi”.”.
Tersimpul dari uraian
At-Tirmidzy diatas bahwa pada makna dua penjualan dalam satu transaksi yang
dilarang, ada dua penafsiran :
1. Penjualan barang dengan harga kredit dan
kontan kemudian penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satu dari dua
harga. Ini penafsiran yang paling banyak disebut.
2. Penjualan barang dengan mengharuskan
pembeli untuk menjual suatu barangnya kepada penjual dengan harga yang ia
inginkan tanpa mengetahui berapa harga barang itu sebenarnya.
Maka bisa disimpulkan
bahwa Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”
apapun penafsirannya dengan dua penafsiran diatas, tetap tidak ada kaitannya
dengan hukum jual beli secara taqsith.
Dan hati ini semakin
kokoh berpijak di atas pendapat bolehnya jual beli secara Taqsith karena itu
merupakan pendapat kebanyakan ulama seperti, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin telah menukil kesepakatan
ulama tentang bolehnya.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar