Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan berdasarkan
Hisab Astronomis tidak memiliki dasar hukum sama sekali, baik dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah maupun ijma’. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil
di atas. Lebih dari itu, bahwa generasi as-salafush shalih telah bersepakat
bahwa cara penentuan Ramadhan adalah hanya dengan ru`yatul hilal.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata dalam Fathul Bâri ketika
menjelaskan hadits :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا » يعني
مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak
menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini. Yakni
terkadan 29 hari, terkadang 30 hari.
“Maksud kata ‘Al-Hisab’ dalam hadits ini
adalah ilmu hisab perbintangan dan peredarannya. Mereka (para shahabat) dahulu
tidak mengetahui tentang ilmu tersebut kecuali segelintir orang saja. Maka
(Syari’at) mengaitkan hukum (kewajiban) shaum dan yang lainnya dengan ru’yah
(al-hilâl), dalam rangka meniadakan kesulitan dari mereka jika menggunakan
ilmu hisab peredaran bintang. Hukum ini terus berlanjut dalam
ketentuan ash-shaum walaupun pada masa setelah mereka
muncul orang-orang yang mengetahui ilmu hisab perbintangan tersebut. Bahkan
konteks hadits di atas menunjukkan penafian mutlak keterkaitan hukum (shaum
Ramadhan) dengan ilmu hisab. Hal ini diperjelaskan dengan pernyataan Rasulullah
dalam hadits di atas :
فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika terhalangi (oleh mendung) maka
sempurnakan bilangan (Sya’ban) menjadi tiga puluh hari”
Beliau tidak berkata : ‘Bertanyalah
kalian kepada para pakar ilmu hisab’.
Hikmah di balik perintah ini adalah
terwujudnya kesamaan perhitungan seluruh mukallaf (kaum muslimin)
dalam penentuan bilangan hari ketika langit mendung, sehingga hilanglah perbedaan
dan perselisihan dari mereka.
Ada suatu pihak yang telah berkeyakinan
bersandar kepada para pakar ilmu hisab dalam permasalahan ini, mereka itu
adalah kelompok Syî’ah Râfidhah, dan
dinukilkan adanya persetujuan segelintir ahli fiqh terhadap mereka.
Al-Imâm Al-Bâji berkata : Ijmâ’
(Konsesus bersama) generasi as-salafush shâlih
merupakan hujjah yang membantah mereka.’ Al-Imâm Ibnu Bazâzah berkata : ‘Ini
(berpegang pada ilmu hisab) adalah keyakinan yang batil, syari’at (Islam) telah
melarang untuk mendalami ilmu nujûm, karena ilmu tersebut hanya sebatas
prasangka yang tidak ada kepastian padanya …’ –sekian
Al-Hâfizh–
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata
:
بخلاف
من خرج في ذلك إلى الأخذ بالحساب أو الكتاب كالجداول وحساب التقويم والتعديل المأخوذ
من سيرهما . وغير ذلك الذي صرح رسول الله صلى الله عليه وسلم بنفيه عن أمته والنهي
عنه . ولهذا ما زال العلماء يعدون من خرج إلى ذلك قد أدخل في الإسلام ما ليس منه
فيقابلون هذه الأقوال بالإنكار الذي يقابل به أهل البدع
مجموع
الفتاوى [25 /179 ]
“Berbeda dengan orang-orang yang keluar
(dari cara yang haq) dalam permasalahan tersebut (penentuan awal Ramadhan)
dengan mengambil cara hisab atau tulisan seperti jadwal dan perhitungan
kalender yang diambil dari perhitungan peredaran Matahari dan Bulan, dan
cara-cara lainnya yang dengan tegas Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
telah meniadakan hal tersebut dan melarangnya dari umatnya. Oleh karena
itu para ‘ulama senantiasa menganggap orang-orang yang mengambil cara-cara
tersebut (hisab) sebagai orang yang telah memasukkan dalam Islam suatu ajaran
yang bukan bagian dari Islam itu sendiri. Maka mereka (para ‘ulama) menyikapi
pendapat-pendapat seperti dengan pengingkaran, sebagaimana mereka menyikapi
ahlul bid’ah.”
ولا
ريب أنه ثبت بالسنة الصحيحة واتفاق الصحابة أنه لا يجوز الاعتماد على حساب النجوم
كما ثبت عنه في الصحيحين أنه قال : { إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب صوموا لرؤيته
وأفطروا لرؤيته } . والمعتمد على الحساب في الهلال كما أنه ضال في الشريعة مبتدع
في الدين فهو مخطئ في العقل وعلم الحساب . فإن العلماء . بالهيئة يعرفون أن الرؤية
لا تنضبط بأمر حسابي وإنما غاية الحساب منهم إذا عدل أن يعرف كم بين الهلال والشمس
من درجة وقت الغروب مثلا ؛ لكن الرؤية ليست مضبوطة بدرجات محدودة فإنها تختلف
باختلاف حدة النظر وكلاله وارتفاع المكان الذي يتراءى فيه الهلال وانخفاضه
وباختلاف صفاء . الجو وكدره . وقد يراه بعض الناس لثمان درجات وآخر لا يراه لثنتي
عشر درجة ؛ ولهذا تنازع أهل الحساب في قوس الرؤية تنازعا مضطربا وأئمتهم :
كبطليموس لم يتكلموا في ذلك بحرف لأن ذلك لا يقوم عليه دليل حسابي . وإنما يتكلم
فيه بعض متأخريهم مثل كوشيار الديلمي وأمثاله . وإنما يتكلم فيه بعض متأخريهم مثل
كوشيار الديلمي وأمثاله . لما رأوا الشريعة علقت الأحكام بالهلال فرأوا الحساب
طريقا تنضبط فيه الرؤية وليست طريقة مستقيمة ولا معتدلة بل خطؤها كثير وقد جرب وهم
يختلفون كثيرا : هل يرى ؟ أم لا يرى ؟ وسبب ذلك : أنهم ضبطوا بالحساب ما لا يعلم
بالحساب فأخطئوا طريق الصواب
مجموع الفتاوى [25 /207]
“Tidak diragukan lagi berdasarkan
As-Sunnah (hadits-hadits) yang sah serta kesepakatan para shahabat bahwasanya
tidak boleh menyandarkan (masuk dan keluarnya bulan Ramadhan) kepada ilmu hisab
astronomi sebagaimana hadits yang telah sah dari beliau (Rasulullah ) yang
diriwayatkan dalam Ash-Shahîhain (Al-Bukhâri dan Muslim) bahwa beliau bersabda
:
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ،
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang
ummiy, kami tidak bisa menulis dan tidak pula menghisab. Maka bershaum-lah
kalian berdasarkan ru’yatul Hilâl, dan ber’idulfitrilah berdasarkan ru’yatul
Hilâl).”
Sementara orang yang menyandarkan diri pada ilmu
hisab untuk menentukan al-hilâl, sebagaimana ia telah sesat dalam syari’at
sekaligus sebagai mubtadi’ (pencetus bid’ah) dalam agama ini, maka ia pun salah
menurut akal dan ilmu hisab itu sendiri. Karena sesungguhnya para pakar di
bidang ilmu hisab mengetahui bahwasanya ru’yah tidak dapat ditentukan secara
pasti berdasarkan perhitungan ilmu hisab. Maksimal ilmu hisab mereka, kalau
benar, adalah menentukan berapa derajat jarak antara al-hilâl (Bulan) dan
Matahari ketika terbenam. Sementara ru’yah bukanlah perkara yang bisa dihitung
secara pasti dalam derajat tertentu. Karena ru’yah berbeda sesuai
dengan perbedaan tingkat ketajaman dan kejelian pandangan, dan sangat
bergantung pada tingkat tinggi rendahnya tempat melakukan ru`yatul hilâl.
Sebagaimana juga sangat bergantung kepada tingkat perbedaan cerah dan tidaknya
cuaca.
Bisa saja sebagain orang berhasil melihat
Al-Hilal pada ketinggian 80 (delapan derajat), sementara yang
lainnya tidak berhasil melihatnya walaupun pada ketinggian 120 (dua
belas derajat). Atas dasar itu para pakar ilmu hisab berselisih secara tidak
menentu, dan para tokoh mereka –semacam Bathlemous – tidak berbicara dalam
masalah ini sedikitpun, karena permasalahan tersebut tidak bersandar di atas
ketentuan yang pasti dalam ilmu hisab.
Yang berbicara tentang hal itu hanyalah para
tokoh ahli hisab yang datang belakangan –seperti Kusyiar Ad-Dailami dan yang
semisalnya- ketika mereka mendapati bahwa Syari’at (Islam) banyak
mengaitkan hukum-hukum dengan (Ru’yah) Al-Hilâl. Maka mereka meyakini bahwa ilmu
hisab merupakan cara yang bisa digunakan untuk memastikan ru’yatul hilâl.
Padahal cara (hisab) tersebut bukanlah cara yang tepat, bukan pula cara yang
sesuai, bahkan salahnya lebih banyak. Dan itu telah terbukti. Para pakar ilmu
hisab pun banyak berselisih : apakah hilal -dengan derajat tertentu-
terlihat ataukah tidak?
Sebabnya adalah karena mereka memastikan sesuatu
berdasarkan ilmu hisab padahal sesuatu tersebut tidak dapat
diketahui/ditentukan berdasarkan ilmu hisab. Sehingga dengan itu mereka menyimpang
dari jalan yang benar.”
فإنا
نعلم بالاضطرار من دين الإسلام أن العمل في رؤية هلال الصوم أو الحج أو العدة أو
الإيلاء أو غير ذلك من الأحكام المعلقة بالهلال بخبر الحاسب أنه يرى أو لا يرى لا
يجوز . والنصوص المستفيضة عن النبي صلى الله عليه وسلم بذلك كثيرة . وقد أجمع
المسلمون عليه . ولا يعرف فيه خلاف قديم أصلا ولا خلاف حديث ؛ إلا أن بعض
المتأخرين من المتفقهة الحادثين بعد المائة الثالثة زعم أنه إذا غم الهلال جاز
للحاسب أن يعمل في حق نفسه بالحساب فإن كان الحساب دل على الرؤية صام وإلا فلا .
وهذا القول وإن كان مقيدا بالإغمام ومختصا بالحاسب فهو شاذ مسبوق بالإجماع على
خلافه . فأما اتباع ذلك في الصحو أو تعليق عموم الحكم العام به فما قاله مسلم .
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
مجموع الفتاوى [25 /132-133]
“Maka kita mengetahui secara pasti dari agama
Islam, bahwa menentukan terlihatnya hilal dalam penentuan pelaksanaan
ibadah shaum, haji, ‘iddah, ila’ atau hukum-hukum lainnya
yang terkait dengan hilal berdasarkan berita seorang ahli hisab bahwa hilal
terlihat atau tidak terlihat, maka yang demikian tidak boleh. Dalil-dalil
yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam
masalah ini sangat banyak, dan kaum muslim telah berijma’ dalam masalah
tersebut. Tidak diketahui adalah perbedaan pendapat dalam masalah tersebut,
baik dulu maupun sekarang. Kecuali sebagian muta’akhkhirin dari kalangan
orang-orang yang menampilkan diri sebagai ahli fiqh, yang muncul setelah abad
ke-3 mengklaim bahwa apabila hilal terhalangi mendung maka boleh bagi seorang
ahli hisab untuk menerapkan hisabnya untuk dirinya sendiri, jika hisab
menunjukkan hilal terlihat maka berpuasa, jika tidak maka tidak berpuasa. Klaim
ini, meskipun terbatas pada waktu mendung dan khusus bagi ahli hisab itu itu
saja, maka merupakan pendapat yang ganjil, telah terdahului oleh ijma’
yang menunjukkan hal sebaliknya. Adapun mengikuti klaim tersebut dalam
kondisi cerah atau mengkaitkan hukum umum dengannya, maka tidak diucapkan oleh
seorang muslim pun.“
copas from : Ustadz Alfian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar