Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian
panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi,
prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang
baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan
beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di
bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab.
Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik
atas itu semua.
Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di
tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun
penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam
sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam
setiap generasinya- lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para
ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris
para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis,
kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang
dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat
ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab
mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin
Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi),
tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin
As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari
Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah,
sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah
garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin
Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu
Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin
Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas
bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i
karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar
A’lamin Nubala’ karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu,
10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat karya Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu, 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan
Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun
yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufi rahimahullahu
meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau
Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu
dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak
ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah
kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam
Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri
Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah
Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (Lihat Manhaj Al-Imam
Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab
Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat
dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza,
Kota ‘Asqalan
(sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian
kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil
tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau
demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar
menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan
bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi
Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga
Yaman). Di sana
pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga
pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan
sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu
khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah
agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy.
Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal
memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik,
sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila
kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak
kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan:
“Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang
bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh
sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat
pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni
Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil
Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya,
Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah.
Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah
memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad
beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun
jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota
Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih
dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal
bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun
berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian
lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari
Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar
bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri
(pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar
bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi
(sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2] (Lihat Tawalit
Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah
karya Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i
1/102)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu
agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam
Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya,
pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari
melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin
Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku
demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena
pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu
agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah-
kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib
Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama
ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan
dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di
daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid
Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan
bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin
Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi
telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam
Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama
Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz
Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang
semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para
ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya.
Demikian pula di Baghdad,
beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri
Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya.
(Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian
panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi,
prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang
baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan
beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di
bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab.
Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik
atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar
umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib
karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu disebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu
berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam
meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata:
“Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu
berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan
jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu
berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu
berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham
tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata:
“Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu
berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari
Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad
Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya
Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu
berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa
Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang
yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i
karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahiri rahimahullahu disebutkan:
“Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah
bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu
bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau
sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah
dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang
tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir
Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah
(belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat
adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan
itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i
karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan
bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu
berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu
berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda
Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu
berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar
bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu
berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata:
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau
termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan
(qiraat) Al-Qur’an.”
Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i
sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan
berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i
terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang
selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya
monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab
Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah
menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta.
Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku
yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
ambillah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan
tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits
yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid
kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah
seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya
berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu
serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya,
seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau
maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih
apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil
dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan
hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah
(hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa
hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau
membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat.
Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[3]
c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh
tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya,
baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan
kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah
kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah
yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun
orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala
puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya
disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang
kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang
baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia
sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati
oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan
kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan
dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan
dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak
akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas
segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba
yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba
yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan
menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah
yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa
Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura:
11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu
berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar
murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan
makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif),
tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan
(ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah,
10/265)
d. Permasalahan iman menurut Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan,
perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa
berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar
(di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat
darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip
ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu
tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu
wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan diazab
terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj
Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)
e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir
menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb
semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal
perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa
jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada
penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal
di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya
yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin
(benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i
mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan
beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat
Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir
melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu
keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat
tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para
penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita.
Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang
dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan
hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun
anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita
dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu
permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi
diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib
Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum
Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana
penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari
Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah
sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu
berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad
(orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan
kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib
Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu
berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang
seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat
di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah
Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam
Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat
karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang
lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang
kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan
prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca.
Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam
Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54
tahun.[8]
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara
lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430
H/2009
[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah
Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.
[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan
Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.
[3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i,
1/472.
[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid
rububiyah.
[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid
asma’ wash shifat.
[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid
uluhiyah.
[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat
fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara
dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang
lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang
sesat.
[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad
Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar