Bulan puasa dan hari raya adalah dua peristiwa yang penuh makna bagi
umat Islam. Sudah pasti, semua kaum muslimin akan menyambutnya dengan
penuh gembira. Namun, makna bulan puasa seringkali terusik dengan adanya
perbedaan awal penentuan puasa. Hari raya-pun terasa kurang bahagia
jika kita berbeda-beda saat merayakannya. Sungguh benar ungkapan orang:
“Bersatu itu indah, berbeda itu susah”.
Sungguh, masyarakat sangat merasakan perbedaan tersebut sebagai
polemik yang tak ringan di tengah kehidupan mereka. Sekalipun banyak
para tokoh sudah menghibur mereka bahwa perbedaan ini merupakan rohmat ,
namun dalam praktek di lapangan ternyata banyak menimbulkan kepiluan
yang mengarah pada perpecahan .
Bila kita telusuri, ternyata salah satu sumber perbedaan di atas
adalah masalah cara penentuan awal mulai masuknya bulan puasa dan hari
raya di kalangan ormas-ormas Islam. Sebagian mereka bersandar pada
ru’yah dan sebagian lagi bersandar pada hisab.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit membahas
masalah ini sebagai sumbangsih sederhana menuju kebaikan bagi kita
semua . Semoga Allah melapangkan hati kita semua untuk menerima
kebenaran dan meninggalkan kesombongan dan fanatik golongan. Amiin.
Defenisi Ru’yah dan Hisab
Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan
bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtima’ (bulan
baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat
bantu potik seperti teleskop . Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan baru hijriyyah.
Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis
untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainnya awal bulan hijriyyah.
Cara Penentuan Bulan Secara Islami
Tatkala Allah mensyari’atkan kepada para hambaNya untuk melakukan
ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Allah juga tidak lupa untuk
menjelaskan cara untuk menentukan waktunya. Oleh karenanya, melalui
lisan rasulNya, Allah menjelaskan hal ini secara gamblang. Nabi
bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا.
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
Hadits ini dan hadits-hadits semisalnya yang banyak sekali
menunjukkan kepada kita bahwa Syari’at Islam hanya menggunakan dua cara
yang meyakinkan untuk mengetahui masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan
yaitu ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 30 hari apabila
tidak kelihatan bulan sabit), karena hal itu lebih mudah dan lebih
meyakinkan.
Bolehkah Penentuan Puasa dan Hari Raya Dengan Hisab?
Bila kita cermati dalil-dalil tentang masalah ini berdasarkan
Al-Qur’an, hadits dan keterangan para ulama, niscaya kita akan dapati
bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab adalah
pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. Berikut
sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab:
1. Dalil Al-Qur’an
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir (melihat) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqoroh: 185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat.
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat.
2. Dalil Hadits
Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang memerintahkan untuk melihat
hilal atau menyempurnakan, dan tak pernah sekalipun beliau menganjurkan
untuk menetapkannya dengan ilmu hisab.
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
3. Dalil Ijma’
Ijma’ tentang tidak bolehnya penggunaan hisab dalam penentuan ini
telah dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Jashosh dalam Ahkamul
Qur’an 1/280, Al-Baaji dalam Al-Muntaqo Syarh Muwatho’ 2/38, Ibnu Rusyd
dalam Bidayatul Mujtahid 1/283-284, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Majmu Fatawa 25/132-207, As-Subuki dalam Al-Ilmu Al-Mantsur hlm. 6, Ibnu
Abidin dalam Hasyiyahnya 2/387 dan lain sebagainya .
4. Dalil Akal
Penentuan puasa dengan ru’yah sesuai dengan pokok-pokok syari’at
Islam yang dibangun di atas kemudahan di mana ru’yah bisa dilakukan oleh
semua manusia dan cara ini juga akan membawa kepada persatuan dan
kebersamaan, berbeda dengan ilmu hisab yang masing-masing akan
mempertahankan pendapat dan penelitiannya sendiri-sendiri.
Mengurai Beberapa Syubhat
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan
boleh ditentukan dengan ilmu hisab. Mereka membawakan beberapa argumen
yang bila diteliti ternyata argumen tersebut adalah lemah . Berikut
penjelasannya secara ringkas:
1. Dalil Al-Qur’an
Mereka berdalil dengan ayat berikut:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا
خَلَقَ اللَّـهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٥﴾
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui. (QS. Yunus ayat: 5)
Jawab:
1. Mana konteks dari ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut?! Lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?! Ataukah ini adalah cara kalian untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat?!
1. Mana konteks dari ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut?! Lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?! Ataukah ini adalah cara kalian untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat?!
2. Ayat di atas hanyalah menjelaskan tentang fungsi manzilah-manzilah
bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
2. Dalil Hadits
Mereka berdalil dengan hadits:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
Mereka mengartikan
Mereka mengartikan
فَاقْدُرُوْا
yakni perkirakanlah dengan ilmu hisab.
Jawab:
1. Makna hadits ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafadz menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus didahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang difahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah sempurnakanlah bukan perkirakanlah.
Jawab:
1. Makna hadits ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafadz menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus didahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang difahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah sempurnakanlah bukan perkirakanlah.
2. Dalam riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 1/423 dan Al-Baihaqi
dalam Sunan Kubro 4/204 dengan sanad shohih, Rasulullah menggabung
penafsiran tersebut dengan “sempurnakanlah”. Lalu adakah yang lebih
jelas lagi dari penafsiran Rasulullah?!
3. Dalil Ucapan Ulama
Mereka mengatakan bahwa penggunaan hisab telah diperbolehkan oleh
ulama-ulama sejak dahulu seperti Muthorrif bin Abdillah, Ibnu Qutaibah
dll.
Jawab:
1. Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
1. Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
2. Anggaplah shohih, tetap ucapan ulama bukanlah dalil bila bertentangan dengan nash yang jelas.
3. Maksud ucapan mereka adalah khusus pada saat cuaca pada malam 30
Sya’ban/Ramadhan adalah mendung, bukan jauh-jauh hari telah ditetapkan
bahwa hari puasa atau hari raya akan jatuh pada hari ini atau itu, baik
mendung atau cerah sebagaimana dilakukan oleh sebagian organisasi yang
menggunakan hisab.
4. Dalil Qiyas
Menggunakan qiyas (analogi) waktu puasa dengan waktu sholat.
Sebagaimana boleh menggunakan hisab untuk waktu sholat demikian juga
boleh untuk puasa.
Jawab:
1. Ini adalah qiyas yang bathil, karena qiyas yang bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat juga bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
1. Ini adalah qiyas yang bathil, karena qiyas yang bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat juga bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
2. Dalam sholatpun apabila kalender bertentangan dengan waktu sholat,
maka yang menjadi patokan adalah waktu sholat dan kalender yang salah
tidak boleh digunakan.
3. Allah membedakan antara sholat dan puasa, karena Allah menjadikan
tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat zhuhur, demikian
juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab
tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh
karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu
shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab,
tetapi dengan salah satu diantara dua perkara: Pertama: Melihat Hilal.
Kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila
tidak terlihat hilal. Wallahu A’lam.
5. Dalil Akal
Mereka mengatakan bahwa Islam mendukung perkembangan modern dan
dengan hisab akan terwujud persatuan kaum muslimin dalam puasa dan hari
raya.
Jawab;
1. Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syari’at.
1. Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syari’at.
2. Persatuan dengan hisab menyelisihi fakta, bahkan inilah salah satu
faktor utama perbedaan yang ada. Bukankah sesama ahli hisab juga
berbeda?! Aduhai, katakanlah padaku bukankah seandainya ormas-ormas
Islam mau bersepakat bersama pemerintah dalam puasa dan hari raya
niscaya akan minim sekali perbedaan yang ada?! Apalagi pemerintah dalam
ini memilih ru’yah yang disepakati bersama bolehnya dan kebenarannya?!
Kenapa kita tidak bersama pemerintah dalam hal ini dan meninggalkan
pendapat kita untuk kemaslahatan persatuan bersama?! Ataukah ini adalah
kesombongan dan fanatisme golongan yang membutakan pandangan?!
Hisab Bukanlah Sesuatu Yang Yakin
Sebagian orang yang menyangka bahwa alat-alat modern untuk ilmu hisab
sekarang bisa dikatakan pasti dan yakin. Namun pada kenyataan di
lapangan, ternyata itu hanyalah prasangka belaka saja . Berikut beberapa
buktinya:
- Banyak beberapa fakta di lapangan yang membuktikan terjadinya beberapa kesalahan dalam perhitungan ilmu hisab, di mana seringkali diberitakan di media bahwa ahli hisab mengatakan tidak mungkin terlihat bulan, tetapi ternyata bulan dapat dilihat dengan jelas oleh beberapa saksi yang terpercaya.
- Kegoncangan ilmu hisab, di mana sebagian Negara berpedoman pada ilmu hisab, namun aneh bin ajaibnya bahwa jarak selisihnya sampai 2 hingga 3 hari. Nah, apakah ada di dunia ini selisih jarak seperti ini dalam kelender hijriyyah?!!
- Adanya perbedaan kalender antara sesama ahli hisab sendiri dalam satu Negara.
- Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ilmu kedokteran sekarang telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan peralatan-peralatan yang sangat canggih. Namun, sekalipun demikian tetap saja terjadi kesalahan di sana sini, padahal berkaitan langsung dengan panca indra manusia. Lantas, bagaimana dengan ilmu hisab yang sangat tersembunyi hasilnya?! Akankah kita meninggalkan sesuatu yang yakin dan mengambil yang ragu-ragu?!
- Ilmu hisab dibangun di atas alat-alat modern yang seperti halnya alat-alat lainnya terkadang terjadi kesalahan, baik penggunanya merasakan atau tidak.
Hisab Bertentangan Dengan Syari’at
Tatkala hisab keluar dari jalur syari’at maka menimbulkan beberapa hal yang bertentangan dengan syari’at, di antaranya:
- Ada perbedaan dalam penetapan bulan antara cara perhitungan syari’at dan ilmu hisab, di mana bilangan bulan dalam pandangan syari’at mungkin 29 hari atau 30 hari, sedangkan dalam pandangan ilmu hisab satu bulan itu sebanyak 29 hari hari, 12 jam ditambah 44 detik.
- Dalam pandangan syari’at bahwa saat awan tertutup maka disempurnakan 30 hari, sedangkan dalam ilmu hisab mungkin ditetapkan 29 hari.
- Dalam pandangan ilmu hisab, awal bulan dimulai keluar dari sinar matahari, sedangkan dalam pandangan syari’at awal bulan dimulai dengan terlihatnya hilal baik keluar dari sinar matahari maupun tidak.
- Dalam pandangan syari’at, awal bulan dapat diketahui dengan panca indra mata dan secara tabi’at, tidak menyesatkan seorang dari agama, tidak menyibukkannya dari kemaslahatan, serta semua kaum muslimin dapat ikut serta di dalamnya. Adapun dalam ilmu hisab, semua kebaikan tersebut tidak ada.
Sebagai kata penutup, cukuplah sebagai bukti otentik tidak bolehnya
penggunaan hisab dalam hal ini bahwa kesalahan dalam ilmu hisab tidak
dimaafkan, berbeda halnya dengan kesalahan dalam ru’yah, hal itu
dimaafkan, bahkan sekalipun mereka salah mereka mendapatkan pahala
karena mereka mengikuti perintah syari’at yaitu menggunakan ru’yah. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi: “Ketahuilah bahwa termasuk
kaidah fiqih adalah bahwa lupa dan bodoh menggugurkan dosa…Adapun
apabila kesalahan dikarenakan ilmu hisab maka hal itu tidak dianggap
karena mereka meremehkan”.
Sebuah Himbauan
Tulisan ini sengaja kami paparkan untuk mengajak seluruh umat Islam
untuk kembali pada pedoman dasar beragama kita, sebagaimana firman
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)
Tinggalkan segala fanatik golongan karena semua itu hanya akan
menjauhkan kita dari menerima kebenaran. Munculkan dalam hati kita semua
rasa ingin mencari kebenaran meskipun hal itu harus bertentangan dengan
sesuatu yang selama ini kita yakini , karena tidak ada yang ma’shum
kecuali para nabi dan rosul. Semua orang bisa menolak dan ditolak
pendapatnya kecuali Rasulullah.
Hendaknya kita selalu bertaqwa kepada Allah dan ingat bahwa masalah
ini bukan masalah pribadi dan golongan tetapi masalah syi’ar Islam yang
membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Semoga semua itu segera
terwujudkan. Amiin.
Daftar Referensi
1. Ahkamul Ahillah wal Atsaar Al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
2. Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet Pertama 1427 H.
3. Fiqhul Al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf Ash-Shiddiqi, Dar Nafais, Yordania, cet pertama 1425 H.
4. Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim, Solo, tanpa tahun.
5. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keempat 2007.
1. Ahkamul Ahillah wal Atsaar Al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
2. Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet Pertama 1427 H.
3. Fiqhul Al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf Ash-Shiddiqi, Dar Nafais, Yordania, cet pertama 1425 H.
4. Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim, Solo, tanpa tahun.
5. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keempat 2007.
copas from http://abiubaidah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar