Di
antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah
yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan
untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa
Ta’ala :
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين / البقرة : 184
‘Dan
wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]
1.
Orang yang sudah lanjut usia.
Orang
yang lanjut usia, pria maupun wanita, yang masih sehat akalnya dan tidak pikun
namun tidak mampu melakukan shaum. Maka diizinkan baginya untuk tidak bershaum
pada bulan Ramadhan namun diwajibkan atasnya membayar fidyah. Hal ini
sebagaimana ditegaskan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
, :
ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ ( وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ). قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ، هُوَ
الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ
يَصُومَا، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا.
Shahabat
Ibnu ‘Abbas membaca ayat ‘Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak bershaum) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin.” [Al-Baqarah : 184]; maka beliau berkata : “Ayat tersebut tidaklah
dihapus hukumnya, namun berlaku untuk pria lanjut usia atau wanita lanjut usia
yang tidak mampu lagi untuk bershaum (pada bulan Ramadhan). Keduanya wajib
membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan
(ia tidak bershaum). [HR. Al-Bukhari 4505]
2.
Sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya
Seorang
yang tidak mampu bershaum disebabkan sakit dengan jenis penyakit yang sulit
diharapkan kesembuhannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma , beliau juga berkata tentang ayat di atas :
لاَ يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلاَّ لِلَّذِي لاَ يُطِيْقُ
الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٌ لاَ يُشْفَى
“Tidaklah
diberi keringanan pada ayat ini (untuk membayar fidyah) kecuali untuk orang
yang tidak mampu bershaum atau orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya.
[An-Nasa`i] [1])
3.
Wanita hamil dan menyusui.
Para
‘ulama sepakat bahwa wanita yang sedang hamil atau menyusui diperbolehkan
baginya untuk tidak bershaum di bulan Ramadhan jika dia tidak mampu untuk
bershaum, baik ketidakmampuan tersebut kembali kepada dirinya sendiri atau
kekhawatiran terhadap janin atau anaknya. Namun apabila dia mampu untuk
bershaum maka tetap baginya kewajiban bershaum sebagaimana dijelaskan oleh Asy
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam fatawa beliau jilid 1 hal. 497-498.
Sedangkan
permasalahan hukum yang berlaku bagi wanita hamil atau menyusui jika dia tidak
bershaum di bulan Ramadhan maka terjadi perbedaan pandang dikalangan para Ulama
dalam beberapa pendapat :
Pendapat
pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atas wanita
hamil atau menyusui kecuali mengqadha` secara mutlak (tidak ada kewajiban
atasnya membayar fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran
terhadap diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan
kehawatiran terhadap janin atau anak susuannya.
Dalil
Pendapat Pertama ini adalah :
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
( فمن كان منكم مريضا ( البقرة: ١٨٤
“…Barang
siapa dalam kondisi sakit …”
Bentuk
pendalilan dari ayat ini adalah bahwa wanita hamil atau menyusui yang tidak
mampu untuk bershaum sama dengan orang yang tidak mampu bershaum karena sakit.
Telah kita ketahui bahwa hukum yang berlaku bagi seorang yang tidak bershaum
karena sakit adalah wajib mengqadha`. Maka atas dasar itu berlaku pula hukum
ini bagi wanita hamil atau menyusui.
2. Dalil mereka yang kedua adalah hadits
yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik Al-Ka’bi radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
… إِنَّ اللهَ وَضَعَ شَطْرَ الصَّلاَةِ -أَوْ نِصْفَ الصّلاَةِ-
وَ الصَّومَ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ وَ الْحُبْلَى (رواه الخمسة)
“Sesungguhnya
Allah memberikan keringanan setengah dari kewajiban sholat (yakni dengan
mengqoshor) dan kewajiban bershaum kepada seorang musafir serta wanita hamil
dan menyusui.” [HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, An Nasa’i dan Al-Imam
Ahmad].([2])
Sisi
pendalilan dari hadits ini, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaitkan hukum
bagi musafir sama dengan wanita hamil atau menyusui. Hukum bagi seorang musafir
yang berifthar (tidak bershaum) di wajibkan baginya qadha`, maka wanita hamil
atau menyusui yang berifthar (tidak bershaum) terkenai pada keduanya kewajiban
qadha` saja tanpa fidyah sebagaimana musafir.
Pendapat
ini adalah pendapat yang ditarjih oleh Asy-Syaikh Bin Baz [3]), Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin [4]), dan Al-Lajnah Ad-Da`imah [5])
Pendapat
kedua : bahwa wanita hamil atau menyusui yang berifthar ( tidak bershaum )
karena kekhawatiran terhadap janin atau anak susuannya, wajib atasnya untuk
membayar fidyah, tanpa harus mengqadha`.
Di
antara dalil mereka yaitu :
1. Atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
bahwa beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا عَلَى أَوْلاَدِهِمَا
أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا [رواه أبو داود]
“Wanita
hamil atau menyusui dalam keadaan keduanya takut terhadap anaknya boleh bagi keduanya berifthar ( tidak
bershaum ) dan wajib bagi keduanya membayar fidyah. [HR Abu Dawud] [6])
2. Juga atsar Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, bahwa beliau berkata :
إِذَا خَافَتِ الحَامِلُ عَلَى نَفْسِهَا وَالمُرْضِعُ عَلَى
وَلَدِهَا فِي رَمَضَانَ، قَالَ : يُفْطِرَانِ وَيُطْعِمَانِ عَلَى كُلِّ يَوْمٍ
مَسْكِيْنًا وَلاَ يَقْضِيَانِ صَوْمًا
(Ibnu
Abbas ditanya), jika wanita hamil khawatir terhadap dirinya dan wanita menyusui
khawatir terhadap anaknya berifthor di bula Ramadhan ) beliai berkata :
kedianya boleh berifthor dan wajib keduanya membaya fidyah pada setiap harinya
seorang miskin dan tidak ada qadha` bagi keduanya. [Ath-Thabari] [7])
Juga
masih dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata kepada
seorang wanita hamil atau menyusui :
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ
تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Engkau
posisinya seperti orang yang tidak mampu (bershaum). Wajib atasmu memberi makan
satu orang miskin untuk setiap hari (yang engkau tidak bershaum), dan tidak ada
kewajiban qadha` atasmu.” [Ath-Thabari] [8])
Semakna
dengan atsar di atas, juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas h oleh Al-Imam
Ad-Daraquthni (no. 250).
3.
Atsar Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
الحَامِلُ وَالمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلاَ تَقْضِي
“Wanita
hamil dan menyusui berifthar (boleh tidak bershaum pada bulan Ramadhan) dan
tidak ada (kewajiban) untuk mengqadha` atasnya.”
Pendapat
ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani radhiyallahu
‘anhu. [9])
Pendapat
ketiga adalah : Wajib atas wanita hamil dan menyusui yang tidak bershaum pada
bulan Ramadhan untuk mengqadha` sekaligus membayar fidyah apabila yang
menyebabkan dia tidak bershaum adalah kekhawatiran terhadap janin atau anak
susuannya.
Namun
apabila yang menyebabkan dia tidak bershaum adalah karena memang dia sendiri
(wanita hamil atau menyusui) tidak mampu bershaum tanpa disebabkan kekhawatiran
terhadap janin atau anak susuannya, maka wajib atasnya mengqadha` tanpa
membayar fidyah.
Di
antara ‘ulama masa kini yang mentarjih pendapat ini adalah Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan hafizhahullah dalam Al-Muntaqa jilid 3 hal. 147. [10])
Dari
tiga pendapat di atas, kami lebih meyakini pendapat kedua sebagai pendapat yang
lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pendapat ini adalah pendapat yang
ditegaskan oleh dua shahabat terkemuka, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma sebagai turjuman dan mufassir Al-Qur`an, dan ‘Abdullah bin ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma , wallahu ta’ala a’lam.
[1]
HR. An-Nasa`i no. 2317. Diriwayatkan pula oleh Ad-Daraquthni (2404) dengan
lafazh :
وَلاَ يُرَخَّصُ إِلاَّ لِلْكَبِيرِ الَّذِى لاَ يُطِيقُ
الصَّوْمَ أَوْ مَرِيضٍ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ يُشْفَى.
“Tidaklah
dizinkan (untuk membayar fidyah dalam ayat tersebut) kecuali untuk orang yang
sudah lanjut usia dan tidak mampu bershaum atau seorang yang sakit dalam
keadaan dia tahu bahwa penyakitnya sulit disembuhkan.”
Atsar
tersebut dishahihkan oleh Asy-Syaikh dalam Al-Irwa` IV/17
[2]
Hadits ini dishohihkan oleh Asy Syaikh Al Albaani dalam Shohih Sunan Abu Daud
no. 2409 dan Asy Syaikh Muqbil dalam kitab beliau Al Jaami’ush Shohih jilid 2
hal. 390 menyatakan sebagai hadits hasan.
[3]
Dalam kitabnya Tuhfatul Ikhwan Bi Ajwibah Muhimmah Tata’alaqu Bi Arkanil Islam
hal. 171
[4]
Majmu‘ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin
[5]
Fatawa Al-Lajnah no. 1453.
[6]
HR. Abu Dawud no. 2318. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Al-Irwa`
no. 912.
[7]
Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v
dalam Al-Irwa` IV/19.
[8]
Tafsir Ath-Thabari no. 2758. atsar ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v
dalam Al-Irwa` IV/19.
[9]
Lihat pembahasan lebih luas dalam kitab beliau Irwa`ul Ghalil jilid IV hal. 17
- 25.
[10]
Lihat Fatwa Ramadhan hal. 324 - 326.
sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=354#more-354
Tidak ada komentar:
Posting Komentar