Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian
Najis
Najis
adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang
selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis
–seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Perlu
dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita temukan pada badan,
pakaian dan tempat. Sedangkan hadats terkhusus kita temukan pada badan. Najis
bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan
seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’),
ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil.
Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena
najis. Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi.
Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda
tersebut suci. Mudah-mudahan kita bisa membedakan antara hadats dan najis
ini.[2]
Hukum
Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat
suatu kaedah penting yang harus diperhatikan yaitu segala sesuatu hukum asalnya
adalah mubah dan suci. Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia
harus mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu mendatangkan dalil
atau mendatangkan dalil namun kurang tepat, maka wajib bagi kita berpegang
dengan hukum asal yaitu segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3] Menyatakan
sesuatu itu najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan
butuh dalil.[4]
Macam-Macam
Najis
1,2
– Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai
najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلَيْهِ الأَذَى فَإِنَّ
التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ
“Jika
salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza) dengan alas kakinya,
maka tanahlah yang nanti akan menyucikannya.”[5]
Al
adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu benda najis,
kotoran, batu, duri, dsb.[6] Yang dimaksud al adza dalam hadits ini adalah
benda najis, termasuk pula kotoran manusia.[7] Selain dalil di atas terdapat
juga beberapa dalil tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya
kotoran manusia.[8]
Sedangkan
najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits Anas,
أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ
بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دَعُوهُ وَلاَ
تُزْرِمُوهُ ». قَالَ فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَصَبَّهُ
عَلَيْهِ.
“(Suatu
saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian
orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang
badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran
dan kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya, lebih-lebih
lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil syari’ah.”[10]
3,4 - Madzi
dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing
pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya
dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih,
tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan
lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat.
Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.[11]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat
perintah untuk membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali bin Abi Thalib, beliau
radhiyallahu ‘anhu berkata,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ
بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
».
“Aku
termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya
(Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad
untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya
kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]
Hukum
wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ
فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ :
اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka
diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[13]
5 –
Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya
adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran anjing[15] dan kotoran babi[16].
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata,
أَرَادَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ أَنْ
يَتَبَرَّزَ فَقَالَ : إِئْتِنِي بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ لَهُ
حَجْرَيْنِ وَرَوْثَةِ حِمَارٍ فَأمْسَكَ الحَجْرَيْنَ وَطَرَحَ الرَّوْثَةَ
وَقَالَ : هِيَ رِجْسٌ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah buang hajat. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Carikanlah tiga buah batu
untukku.” Kemudian aku mendapatkan dua
batu dan kotoran keledai. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil
dua batu dan membuang kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]
Hal
ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya semacam
kotoran keledai jinak adalah najis.
6 –
Darah haidh
Dalil
yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang
wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ
تَصْنَعُ بِهِ
“Di
antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ
تُصَلِّى فِيهِ
“Gosok
dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah
dengannya.” [18]
Shidiq
Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk menggosok dan mengerik
darah haidh tersebut menunjukkan akan kenajisannya.”[19]
7 –
Jilatan anjing
Dari
Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ
يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Cara
menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci
sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, bagian anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja.
Sedangkan bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana hukum
asalnya.[21]
8 –
Bangkai
Bangkai
adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui penyembelihan yang syar’i.[22]
Najisnya bangkai adalah berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari Abdullah bin ‘Abbas,
إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Apabila
kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai
yang dikecualikan adalah :
a –
Bangkai ikan dan belalang
Hal
ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا
الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ
وَالطِّحَالُ
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua
bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah
hati dan limpa.” [23]
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan
kutu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ،
فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لْيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ
شِفَاءً وَفِى الآخَرِ دَاءً
“Apabila
seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah
lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat
ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]
c –
Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua
ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita kembalikan kepada hukum
asal segala sesuatu adalah suci. Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh
Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata,
وَقَالَ حَمَّادٌ لاَ بَأْسَ بِرِيشِ الْمَيْتَةِ . وَقَالَ
الزُّهْرِىُّ فِى عِظَامِ الْمَوْتَى نَحْوَ الْفِيلِ وَغَيْرِهِ أَدْرَكْتُ
نَاسًا مِنْ سَلَفِ الْعُلَمَاءِ يَمْتَشِطُونَ بِهَا ، وَيَدَّهِنُونَ فِيهَا ،
لاَ يَرَوْنَ بِهِ بَأْسًا
“Hammad
mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri
mengatakan tentang tulang bangkai dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan
beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang
tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal ini’.” [25]
Tersisa
pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak termasuk najis -menurut pendapat
ulama yang lebih kuat- yaitu mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan
khomr. Dan juga masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis.
Semoga Allah memudahkan kami membahasnya dalam rubrik fiqih selanjutnya.
Semoga
Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah
yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
***
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
www.muslim.or.id
[1]
Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq Hasan Khon, 1/22,
Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H
[2]
Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayid
Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3]
Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan
pertama, tahun 1405 H
[4]
Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5]
HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6]
Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H.
[7]
Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.
[8]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9]
HR. Muslim no. 284
[10]
Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11]
Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383,
pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12]
HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13]
HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah-
mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[14]
Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Inilah pendapat
mayoritas ulama. Di antara dalilnya adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau
mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى يَوْمَ
خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِى لُحُومِ الْخَيْلِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang Khoibar memakan daging
keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no.
4219 dan Muslim no. 1941)
[15]
Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia termasuk hewan buas (yang
dapat menyerang manusia) dan bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“Setiap
hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR. Muslim no. 1933, dari Abu
Hurairah).
[16]
Babi termasuk hewan yang haram dimakan sebagaimana disebutkan dalam Surat Al
An’am ayat 145.
[17]
HR. Ibnu Khuzaimah no. 70
[18]
HR. Bukhari no. 227 dan Muslim no. 291
[19]
Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 30.
[20]
HR. Muslim no. 279
[21]
Lihat Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 21/616-620, Darul Wafa’,
cetakan ketiga, 1426 H.
[22]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/73.
[23]
HR. Ibnu Majah no. 3314. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu
Majah mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[24]
HR. Bukhari no. 5782
[25]
Lihat Shohih Bukhari pada Bab ‘Benda najis yang jatuh pada minyak dan air’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar