Kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rizki. Rizki
sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa
makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan
berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian
orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah.
Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap
agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis
komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu
apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan
banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan
pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan
baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rizki).
Allah Satu-Satunya Pemberi Rizki
Sesungguhnya Allah adalah satu-satunya pemberi rizki, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah
Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari
langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3)
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah.” (QS. Saba’: 24)
Tidak ada yang berserikat dengan Allah dalam memberi rizki. Oleh
karena itu, tidak pantas Allah disekutukan dalam ibadah, tidak pantas
Allah disembah dan diduakan dengan selain. Dalam lanjutan surat Fathir,
Allah Ta’ala berfirman,
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ
“Tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah;
maka mengapakah engkau bisa berpaling (dari perintah beribadah kepada
Allah semata)?” (QS. Fathir: 3)
Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan
tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)
Seandainya Allah menahan rizki manusia, maka tidak ada selain-Nya yang dapat membuka pintu rizki tersebut. Allah Ta’ala berfirman,
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ
رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ
بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang
ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya
sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Fathir: 2).
Itu memang benar, tidak mungkin ada yang dapat
memberikan makan dan minum ketika Allah menahan rizki tersebut.
Allah Memberi Rizki Tanpa Ada Kesulitan
Allah memberi rizki tanpa ada kesulitan dan sama sekali tidak terbebani. Ath Thohawi rahimahullah dalam matan kitab aqidahnya berkata, “Allah itu Maha Pemberi Rizki dan sama sekali tidak terbebani.”
Seandainya semua makhluk meminta pada Allah, Dia akan memberikan pada
mereka dan itu sama sekali tidak akan mengurangi kerajaan-Nya sedikit
pun juga. Dalam hadits qudsi disebutkan, Allah Ta’ala berfirman,
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ
وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ
فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ
مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ
الْبَحْرَ
“Wahai hamba-Ku, seandainya orang-orang yang terdahulu dan
orang-orang yang belakangan serta semua jin dan manusia berdiri di atas
bukit untuk memohon kepada-Ku, kemudian masing-masing Aku penuh
permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan yang ada di
sisi-Ku, melainkan hanya seperti benang yang menyerap air ketika
dimasukkan ke dalam lautan.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al
Ghifari).
Mengenai hadits ini, Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits
ini memotivasi setiap makhluk untuk meminta pada Allah dan meminta
segala kebutuhan pada-Nya.”[1]
Dalam hadits dikatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنَّ اللَّهَ قَالَ لِى أَنْفِقْ
أُنْفِقْ عَلَيْكَ ». وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
يَمِينُ اللَّهِ مَلأَى لاَ يَغِيضُهَا سَحَّاءُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْفَقَ مُذْ خَلَقَ السَّمَاءَ وَالأَرْضَ فَإِنَّهُ
لَمْ يَغِضْ مَا فِى يَمِينِهِ »
“Allah Ta’ala berfirman padaku, ‘Berinfaklah kamu, niscaya Aku
akan berinfak (memberikan ganti) kepadamu.’ Dan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Pemberian Allah selalu cukup, dan tidak
pernah berkurang walaupun mengalir siang dan malam. Adakah terpikir
olehmu, sudah berapa banyakkah yang diberikan Allah sejak terciptanya
langit dan bumi? Sesungguhnya apa yang ada di Tangan Allah, tidak pernah
berkurang karenanya.” (HR. Bukhari no. 4684 dan Muslim no. 993)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Allah sungguh
Maha Kaya. Allah yang memegang setiap rizki yang tak terhingga, yakni
melebihi apa yang diketahui setiap makhluk-Nya.”[2]
Allah Menjadikan Kaya dan Miskin dengan Adil
Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah
jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan
miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki.” (QS. An Nahl: 71)
Dalam ayat lain disebutkan,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia
kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi
Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al Isro’: 30)
Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”.
Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut,
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara
hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.”[3]
Di tempat lain, Ibnu Katsir menerangkan firman Allah,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ
لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا
يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya
tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah
menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha
Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 27)
Beliau rahimahullah
lantas menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih
dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku
kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan lagi, “Akan tetapi Allah memberi
rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat
manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui
manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan
bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang
memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[4]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا بالغنى ولو أفقرته لكفر، وإن من عبادى من لا يصلح إيمانه إلا الفقر ولو أغنيته لكفر
“Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik
jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia
miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah
baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat
ia kaya, tentu ia akan kufur”.[5] Hadits ini dinilai dho’if(lemah),
namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Ketahuilah bahwa kaya dan miskin bukanlah tanda orang itu mulia dan
hina. Karena orang kafir saja Allah beri rizki, begitu pula dengan orang
yang bermaksiat pun Allah beri rizki. Jadi rizki tidak dibatasi pada
orang beriman saja. Itulah lathif-nya Allah (Maha Lembutnya Allah).
Sebagaimana dalam ayat disebutkan,
اللهُ لَطِيفٌ بِعِبَادِهِ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ القَوِيُّ العَزِيزُ
“Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rezki
kepada yang di kehendaki-Nya dan Dialah yang Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Asy Syura: 19)
Sifat orang-orang yang tidak beriman adalah menjadikan tolak ukur
kaya dan miskin sebagai ukuran mulia ataukah tidak. Allah Ta’ala
berfirman,
وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالًا
وَأَوْلَادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ (35) قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ
الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُونَ (36) وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي
تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي
الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ (37)
“Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-
anak (daripada kamu) dan Kami sekali-kali tidak akan diazab.
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). Akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dan sekali-kali bukanlah
harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami
sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda
disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di
tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga).” (QS. Saba’: 35-37)
Orang-orang kafir berpikiran bahwa banyaknya harta dan anak adalah
tanda cinta Allah pada mereka. Perlu diketahui bahwa jika mereka, yakni
orang-orang kafir diberi rizi di dunia, di akherat mereka akan sengsara
dan diadzab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyanggah pemikiran rusak
orang kafir tadi dalam firman-Nya,
نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
“Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 56)
Bukanlah banyaknya harta dan anak yang mendekatkan diri pada Allah,
namun iman dan amalan sholeh. Sebagaiman dalam surat Saba’ di atas
disebutkan,
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu
yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal-amal saleh.”
Penjelasan dalam ayat ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian” (HR. Muslim no. 2564, dari Abu Hurairah)
Kaya bisa saja sebagai istidroj dari Allah, yaitu hamba yang
suka bermaksiat dibuat terus terlena dengan maksiatnya lantas ia
dilapangkan rizki. Miskin pun bisa jadi sebagai adzab atau siksaan.
Semoga kita bisa merenungkan hal ini.
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan firman Allah,
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا
ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
(15
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ
رَبِّي أَهَانَنِ (16)
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata:
“Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu
membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16); beliau rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala
mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan
rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia
menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah
memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لا يَشْعُرُونَ
“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami
berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan
kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah
menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka.
Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi
pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula
Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.
Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan
disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua
keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia
bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar.
Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[6]
Sebab Bertambah dan Barokahnya Rizki
Takwa kepada Allah adalah sebab utama rizki menjadi barokah. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan mengenai Ahli Kitab,
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ
فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ مِنْهُمْ أُمَّةٌ مُقْتَصِدَةٌ
وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ سَاءَ مَا يَعْمَلُونَ
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat
dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Rabbnya,
niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki
mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. dan Alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al Maidah: 66)
Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ القُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS. Al A’rof: 96)
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا , وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluark, dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya.” (QS. Ath Tholaq: 2-3)
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan
itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka
air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin: 16)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Sebab Berkurang dan Hilangnya Barokah Rizki
Kebalikan dari di atas, rizki bisa berkurang dan hilang barokahnya karena maksiat dan dosa. Mungkin saja hartanya banyak, namun hilang barokah atau kebaikannya. Karena rizki dari Allah tentu saja diperoleh dengan ketaatan. Allah Ta’ala berfirman,
ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَالبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).” (QS. Ar Rum: 41). Yang dimaksudkan kerusakan di
sini—kata sebagian ulama– adalah kekeringan, paceklik, hilangnya
barokah (rizki). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Yang dimaksudkan kerusakan di sini adalah hilangnya barokah (rizki)
karena perbuatan hamba. Ini semua supaya mereka kembali pada Allah
dengan bertaubat.” Sedangkan yang dimaksud dengan kerusakan di laut
adalah sulitnya mendapat buruan di laut. Kerusakan ini semua bisa
terjadi karena dosa-dosa manusia.[7]
Yang Penting Berusaha dan Tawakkal
Keimanan yang benar rizki bukan hanya dinanti-nanti. Kita bukan
menunggu ketiban rizki dari langit. Tentu saja harus ada usaha dan
tawakkal, yaitu bersandar pada Allah. Dari Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى
اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو
خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh
Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki.
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali
sore harinya dalam keadaan kenyang.”[8]
Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan
usaha untuk memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang
memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi
hari untuk mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini
–wallahu a’lam-: Seandainya mereka bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan
pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya,
maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung yang pergi
pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang.
Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh,
dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan
baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[9]
Rizki yang Paling Mulia
Sebagian kita menyangka bahwa rizki hanyalah berputar pada harta dan
makanan. Setiap meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti
itu. Perlu kita ketahui bahwa rizki yang paling besar yang Allah berikan
pada hamba-Nya adalah surga (jannah). Inilah yang Allah
janjikan pada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Surga adalah nikmat dan rizki
yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh
telinga, dan tidak pernah tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rizki
yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya, maka umumnya yang dimaksudkan
adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari firman Allah Ta’ala,
لِيَجْزِيَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya
ampunan dan rezki yang mulia.” (QS. Saba’: 4)
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَيَعْمَلْ
صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللهُ لَهُ رِزْقًا
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang
saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 11)[10]
Jika setiap kita memahami hal ini, yang Allah satu-satunya pemberi
rizki dan sungguh Allah benar-benar yang terbaik bagi kita, maka tentu
saja kita tidak akan menggantungkan hati pada selain Allah untuk
melariskan bisnis. Allah Ta’ala sungguh benar-benar Maha Mencukupi.
Allah Maha Mengetahui manakah yang terbaik untuk hamba-Nya, sehingga ada
yang Dia jadikan kaya dan miskin. Setiap hamba tidak perlu bersusah
payah mencari solusi rizki dengan meminta dan menggantungkan hati pada
selain-Nya. Tidak perlu lagi bergantung pada jimat dan penglaris.
Gantilah dengan banyak memohon dan meminta kemudahan rizki dari Allah. Wallahu waliyyut taufiq. (*)
Finished on Monday, 2nd Dzulhijjah 1431 H (8/11/2010), in KSU, Riyadh, KSA
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, 1419, 2/48
[2] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379, 13/395.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/479
[4]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/278.
[5]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[6] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/347.
[7] Tafsir Al Qurthubi (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an), Mawqi’ Ya’sub (sesuai standar cetakan), 14/40.
[8]
HR. Ahmad (1/30), Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu
Hibban no. 402. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam Shohih
Al Musnad no. 994 mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[9] Dalilul Falihin, Ibnu ‘Alan Asy Syafi’i, Asy Syamilah, 1/335.
[10] Bahasan dalam tulisan ini, kami kembangkan dari tulisan di web: http://www.dorar.net/enc/aqadia/1241, dengan judul: Pengaruh iman terhadap nama Allah “Ar Rozzaq”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar