Tikaman
demi tikaman terhadap Islam terus saja berlangsung. Peristiwa kali ini pun
akhirnya membuka babak baru pertempuran antara Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam dan para sahabatnya
melawan persekongkolan musyrikin dan salibis, perang Mu’tah.
Peristiwa
ini terjadi di daerah Mu’tah dekat Balqa’ wilayah Syam (sekarang Jordania).
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke delapan hijriyah di bulan Jumadil Ula.
Di antara
sebab terjadinya pertempuran, Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam pernah mengutus Al-Harits bin ‘Umair
Al-Azdi Radiyallaahu'anh membawa sepucuk surat kepada pembesar Romawi atau Bushra. Lalu dia
dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani yang lantas membunuhnya. Padahal
belum pernah ada seorangpun utusan Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam terbunuh selain dia.
Kejadian
itu terasa berat bagi Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam, sehingga beliaupun mengirim sebuah pasukan
dan mengangkat Zaid bin Haritsah z sebagai panglima. Beliau lalu bersabda:
إِنْ قُتِلَ زَيْدٌ فَجَعْفَرٌ، وَإِنْ قُتِلَ جَعْفَرٌ
فَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
“Kalau
Zaid terbunuh, maka Ja’far (yang menggantikannya). Jika Ja’far terbunuh, maka
Abdullah bin Rawahah (yang menggantikan).” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab
Al-Maghazi)
Beberapa
sahabat merasa ada ganjalan ketika Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam mengangkat Zaid bin Haritsah
lebih dahulu sebagai panglima. Tapi Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam menegaskan sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar c:
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ n بَعْثًا وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَطَعَنَ
النَّاسُ فِي إِمْرَتِهِ فَقَامَ رَسُولُ اللهِ n فَقَالَ: إِنْ تَطْعَنُوا فِي
إِمْرَتِهِ فَقَدْ كُنْتُمْ تَطْعَنُونَ فِي إِمْرَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ،
وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلْإِمْرَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِّ
النَّاسِ إِلَيَّ، وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ
“Rasulullah
n mengirim satu pasukan dan mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima.
Ternyata orang-orang mengritik kepemimpinannya. Maka berdirilah Rasulullah n
lalu berkata: ‘Kalau kamu mengecam kepemimpinannya, sesungguhnya kamu sudah
pernah mengecam kepemimpinan ayahnya sebelum ini. Demi Allah. Sungguh dia
(Zaid) betul-betul pantas memimpin, dan dia termasuk orang yang paling aku
cintai. Dan sesungguhnya dia ini (Usamah) juga betul-betul orang yang paling
aku cintai sesudahnya’.”
Kata
Al-Mubarakfuri ketika menjelaskan hadits ini, kepemimpinan yang dimaksud adalah
ketika perang Mu’tah. Beliau juga menukil riwayat An-Nasa’i dari ‘Aisyah x,
yang menyatakan bahwa tidaklah Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam mengirim sebuah pasukan melainkan
mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglimanya.
Ketika
kaum muslimin memberi pesan-pesan terakhir kepada ketiga panglima tersebut dan
pasukan mereka, Abdullah bin Rawahah z menangis. Sebagian sahabat bertanya
kepadanya, mengapa dia menangis?
Kata
beliau: “Tidak ada padaku kecintaan terhadap dunia dan bukan pula rindu yang
meluap-luap terhadap kamu. Tapi aku mendengar Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam membaca satu ayat:
“Dan
tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi
Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 71)
Aku tidak
tahu bagaimana keluarnya setelah mendatanginya?”
Kaum
muslimin tetap memanjatkan doa untuk mereka: “Semoga Allah menyertai kalian,
menjauhkan kalian dari bahaya dan mengembalikan kalian kepada kami dalam
keadaan selamat.”
Abdullah
mengatakan:
Tapi aku
justru minta kepada Ar-Rahman ampunan
Dan satu
pukulan keras yang memuntahkan buih (darah)
Atau
tikaman keras oleh tangan yang menggenggam
Tombak
yang menembus jantung dan lambung
Al-Imam
Ahmad meriwayatkan dari hadits Khalid bin Sumair dari Abdullah bin Rabah, dia
mengatakan: Abu Qatadah, prajurit berkuda Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam menyampaikan sebuah
hadits kepada kami. Dia berkata:
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ n جَيْشَ الْأُمَرَاءِ فَقَالَ: عَلَيْكُمْ زَيْدُ بْنُ
حَارِثَةَ، فَإِنْ أُصِيبَ زَيْدٌ فَجَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، فَإِنْ أُصِيبَ
جَعْفَرٌ فعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ الْأَنْصَارِيُّ. فَوَثَبَ جَعْفَرٌ
فَقَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كُنْتُ أَرْهَبُ أَنْ
تَسْتَعْمِلَ عَلَيَّ زَيْدًا. قَالَ: امْضِهْ، فَإِنَّكَ لاَ تَدْرِي أَيُّ
ذَلِكَ خَيْرٌ. فَانْطَلَقُوا فَلَبِثُوا مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ
اللهِ n صَعِدَ الْمِنْبَرَ وَأَمَرَ أَنْ يُنَادَى: الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ؛
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: نَابَ خَيْرٌ أَوْ بَاتَ خَيْرٌ أَوْ ثَابَ خَيْرٌ -شَكَّ
عَبْدُ الرَّحْمَنِ- أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنْ جَيْشِكُمْ هَذَا الْغَازِي،
إِنَّهُمُ انْطَلَقُوا فَلَقَوُا الْعَدُوَّ فَأُصِيبَ زَيْدٌ شَهِيدًا،
فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ -فَاسْتَغْفَرَ لَهُ النَّاسُ- ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ
جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَشَدَّ عَلَى الْقَوْمِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا
أَشْهَدُ لَهُ بِالشَّهَادَةِ فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ
عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأَثْبَتَ قَدَمَيْهِ حَتَّى قُتِلَ شَهِيدًا
فَاسْتَغْفِرُوا لَهُ، ثُمَّ أَخَذَ اللِّوَاءَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ وَلَمْ
يَكُنْ مِنَ الْأُمَرَاءِ، هُوَ أَمَّرَ نَفْسَهُ. ثُمَّ رَفَعَ رَسُولُ اللهِ n إِصْبَعَيْهِ
فَقَالَ: اللَّهُمَّ هُوَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِكَ، فَانْصُرْهُ. فَمِنْ يَوْمِئِذٍ
سُمِّيَ خَالِدٌ سَيْفَ اللهِ. ثُمَّ قَالَ: انْفِرُوا فَأَمِدُّوا إِخْوَانَكُمْ
وَلاَ يَتَخَلَّفَنَّ أَحَدٌ. قَالَ: فَنَفَرَ النَّاسُ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ مُشَاةً
وَرُكْبَانًا
Rasulullah
n mengirim satu pasukan besar, dan berkata: “Yang memimpin kamu adalah Zaid bin
Haritsah. Kalau Zaid mendapat musibah (gugur), maka (yang menggantinya) adalah
Ja’far. Kalau Ja’far terkena musibah, maka gantinya adalah Abdullah bin Rawahah
Al-Anshari.”
Maka
melompatlah Ja’far dan berkata: “Demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, wahai
Nabi Allah. Begitu pengecutkah saya sehingga anda angkat Zaid di atas saya?”
Beliau
berkata: “Teruskanlah (kepemimpinan Zaid), karena sesungguhnya engkau tidak
tahu mana yang lebih baik.”
Kata Abu
Qatadah: “Pasukan itu berangkat, dan menetap (di sebuah tempat) sampai waktu
yang dikehendaki Allah.
Kemudian
Rasulullah n naik mimbar lalu memberi perintah menyerukan: Ash-Shalatu Jami’ah.
Lalu Rasulullah n berkata: “Telah terjadi kebaikan atau datang kebaikan.
(‘Abdurrahman ragu).
“Maukah
kalian saya beritakan tentang pasukan kalian yang berperang ini? Mereka
berangkat sampai bertemu musuh. Kemudian Zaid gugur sebagai syahid, maka
mintakanlah ampunan untuknya,” lalu kaum musliminpun memintakan ampunan
untuknya.
“Kemudian
bendera diambil oleh Ja’far bin Abi Thalib, diapun menyerang musuh dengan hebat
hingga terbunuh sebagai syahid. Saya persaksikan untuknya syahadah (pahala syahid),
maka mintakanlah ampunan untuknya. Kemudian bendera diambil oleh Abdullah bin
Rawahah, dan diapun mengokohkan kedua kakinya sampai terbunuh sebagai syahid,
maka mintakanlah ampunan untuknya.
Kemudian
bendera diambil oleh Khalid bin Al-Walid, padahal dia tidak ditunjuk sebagai
pemimpin pasukan. Dia mengangkat dirinya sendiri sebagai panglima. Lalu
Rasulullah n mengangkat dua jarinya dan berkata: “Ya Allah, dia adalah pedang
dari pedang-pedang-Mu, maka tolonglah dia.”
Maka
sejak saat itulah Khalid digelari Pedang Allah. Kemudian beliau berkata lagi:
“Berangkatlah kamu, bantulah saudara-saudaramu dan jangan ada seorangpun yang
tertinggal.”
Akhirnya,
kaum musliminpun berangkat di bawah sengatan panas matahari berjalan kaki dan
berkendaraan.
Zaid bin
Haritsah z Gugur sebagai Syahid
Pasukan
muslimin dengan kekuatan 3.000 orang itu mulai meninggalkan tembok kota
Madinah. Rasul n yang mulia mengantar mereka sambil memberi pesan nasihat.
Syahdan,
pasukan berangkat dan berhenti di desa Mu’tah. Sementara kekuatan Romawi
200.000 orang bersenjata lengkap.
Sebagian
ahli ilmu menceritakan bahwa Abu Hurairah z kaget dan merasa kekuatan lawan
tidak sebanding dengan kaum mukminin. Tapi sahabat lainnya mengingatkan
bagaimana dahulu mereka di Badr.
Tapi memang,
sejak kapan prajurit iman bertarung dengan dasar jumlah? Bukankah Allah l
berfirman:
“Berapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249)
Tentara
Allah Subhaanahu wata'ala itu bergerak maju dengan panglima Zaid di depan memegang bendera
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam dengan senjata terhunus. Zaid bertempur hebat, hingga akhirnya
terkena senjata musuh. Beliaupun gugur sebagai syahid. Kekasih Rasulullah n ini
mendahului, menanti sang kekasih untuk berkumpul.
Ja’far
Gugur Sebagai Syuhada’
Begitu
Zaid gugur, bendera dipegang oleh Ja’far, pemuda Hasyimi yang menjual
kebangsawanannya demi meraih derajat di sisi Allah Yang Maha Perkasa.
Perang
terus berkecamuk. Tentara salibis tidak puas sebelum menghancurkan tentara Allah
l sehancur-hancurnya. Mereka kira, kekuatan super mereka akan menyiutkan nyali
hati-hati yang berisi iman dan tauhid yang murni itu.
Orang-orang
‘badui’ yang terbelakang, yang dahulunya merunduk sujud bila bertemu mereka.
Setelah Islam menjadikan mereka sebagai manusia secara utuh, tidak ada lagi
satu kekuatanpun yang mereka takuti kecuali Allah Subhaanahu wata'ala Yang Maha Perkasa.
Manusia-manusia
yang mencintai kematian, tetapi masih menginginkan hidup. Perang bagi mereka
bukan cuma membunuh, menebas, dan menikam. Tapi membuka jalan menuju gerbang
kehidupan abadi.
Inilah
sebabnya, mereka bukannya berbalik ke belakang melihat kekuatan musuh demikian
besar. Tidak. Mereka berperang bukan karena jumlah dan kekuatan fisik. Mereka
bertempur karena kekuatan hati, kekuatan iman. Tujuan mereka hanya ingin
mengangkat setinggi-tingginya Kalimatullah.
Simaklah
kembali apa yang dikatakan oleh Ja’far, ketika dia diletakkan sesudah Zaid oleh
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam. Ungkapan yang menunjukkan kepahlawanan. Bukan ambisi sebagai
pemimpin, tapi ingin mendahului meraih surga. Terlebih lagi sabda Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam,
lisan yang tidak berbicara dengan hawa nafsu, kata-katanya adalah wahyu yang
diwahyukan kepadanya.
Al-Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik z, bahwa Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam mengabarkan
tentang gugurnya Zaid, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah g kepada kaum muslimin
sebelum berita itu sampai kepada mereka. Kata beliau:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ
فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ. -وَإِنَّ
عَيْنَيْ رَسُولِ اللهِ n لَتَذْرِفَانِ-
ثُمَّ أَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ مِنْ غَيْرِ إِمْرَةٍ فَفُتِحَ لَهُ
“Bendera
dipegang oleh Zaid lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far. Kemudian
dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan diapun gugur,” Sementara air mata beliau
menitik, “Kemudian bendera dipegang oleh Khalid bin Al-Walid tanpa diangkat,
lalu dibukakan kemenangan baginya.”
Dari
jalur lain, Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas z, dari Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam
bahwa beliau mengatakan:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ
فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ -وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ-
حَتَّى أَخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِمْ
“Bendera
dipegang oleh Zaid lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far diapun gugur.
Kemudian bendera dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan diapun gugur,”
sementara air mata beliau menitik, akhirnya bendera dipegang oleh salah satu
pedang dari pedang-pedang Allah hingga Allah bukakan kemenangan untuk mereka.”
Al-Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari jalur lain, bahwa Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam mengabarkan hal itu
di atas mimbar dan kata beliau n:
وَمَا يَسُرُّهُمْ أَنَّهُمْ عِنْدَنَا
“Tidaklah
menyenangkan mereka, kalaupun mereka bersama kita di sini.” Karena keutamaan
mati syahid yang sudah mereka ketahui.
Ja’far
meyakini itu semua. Berita nubuwwah ini tidak menyurutkannya. Bahkan dia ingin,
dialah yang pertama.
Allahu
Akbar… Hati seperti apa yang Allah subhaanahu wata'ala letakkan dalam dada mereka, sehingga
begitu mencintai kematian, padahal masih menginginkan hidup? Yakin surga
menanti mereka di balik kilatan pedang?
Pertempuran
semakin seru, korban di masing-masing pihak mulai berjatuhan. Ja’far
menggenggam bendera dengan tangan kanannya. Khawatir kuda perangnya menjadi
santapan orang-orang kafir, Ja’far turun dan membunuh kudanya. Para prajurit
musuh menyerbunya dan memutus tangan kanannya yang menggenggam bendera.
Tangan
perkasa itu jatuh bersama bendera. Tapi dengan sigap, sebelum menyentuh tanah,
tangan kiri Ja’far menyambar bendera dan menegakkannya. Prajurit kafir lainnya
menebas tangan kirinya, tapi Ja’far tetap tidak rela bendera Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam jatuh
sementara dia masih hidup. Akhirnya bendera itu didekapnya dengan lengannya
yang buntung, dia dekatkan ke dadanya. Dia tetap tegar. Tebasan pedang dan
tusukan tombak tidak dihiraukannya, akhirnya beliaupun gugur meraih janji pasti
dari Nabi Shallallaahu'alaihi wasallam. Jannah (surga) menjemputnya, kedua tangan itupun diganti Allah l
dengan dua buah sayap yang digunakannya terbang ke mana saja di dalam surga.1
Dikenallah dia dengan Dzul Janahain, si empunya dua sayap.
Al-Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar c, bahwa dia berdiri di dekat jenazah
Ja’far dan menghitung ada sekitar 90 bekas luka sabetan dan tusukan tombak di
sekujur tubuhnya. Setiap kali dia berjumpa dengan putra Ja’far, dia mengucapkan
salam: “Assalamu ‘alaika, yaa ibna dzil janahain (salam sejahtera atasmu, wahai
putera pemilik dua sayap).”
Nun, di
Madinah, Nabi yang suci berlinang air mata mengetahui para kekasih telah
mendahului. Beliau mendekap putra-putra Ja’far dan menciumi mereka. Asma’ bintu
Umais x (istri Ja’far) yang melihat kejadian itu berseru: “Wahai Rasulullah,
demi ayah dan ibuku tebusanmu, apa yang membuatmu menangis? Apakah telah sampai
kepadamu berita tentang Ja’far dan sahabat-sahabatnya?” Rasulullah n berkata:
“Ya.”
Asma’
menjerit. Para wanitapun datang berkumpul di rumahnya, sementara Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam
pergi meninggalkan mereka.
Kemudian
beliau memberi waktu tiga hari kepada keluarga Ja’far untuk berduka cita.
Setelah itu beliau menemui mereka dan berkata: “Janganlah kamu menangisi
saudaraku lagi sesudah hari ini –atau esok–. Panggilkan dua anak saudaraku.”
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam juga mengatakan:
اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ
جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ
“Buatkanlah
untuk keluarga Ja’far makanan, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka
sesuatu yang menyibukkan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Dalam
hadits ini, yang disunnahkan adalah membuatkan makanan yang mengenyangkan
keluarga yang terkena musibah, bukan datang bertamu (ta’ziyah) lalu makan dan minum dari hidangan yang disediakan
oleh tuan rumah sebagaimana banyak terjadi dewasa ini. Wallahul Musta’an.
Al-Mubarakfuri
menukilkan riwayat Ibnu Majah dan Ahmad, dari Jarir, yang menyatakan bahwa
berkumpul di rumah duka, makan dan minum (suguhan tuan rumah) termasuk niyahah
(ratapan yang dilarang). Dan kata beliau sanadnya sahih.
Abdullah
bin Rawahah z gugur sebagai syahid
Melihat
Ja’far gugur, dan bendera Rasul yang mulia segera akan jatuh, dengan cepat
Abdullah bin Rawahah menyibak barisan musuh dan menangkap bendera itu. Bendera
sekarang di tangan panglima ketiga. Diapun mengangkatnya membangkitkan semangat
kaum muslimin.
Di awal
pertempuran ketika mendengar berita kekuatan lawan, sebagian tentara muslimin
menyarankan agar mengirim surat menerangkan kekuatan musuh yang luar biasa, dan
menunggu keputusan Rasulullah n, apakah mereka diberi bala bantuan atau
diperintahkan mundur atau yang lainnya.
Abdullah
bin Rawahah tampil mengingatkan pasukan, menumbuhkan keberanian mereka seraya
mengatakan: “Wahai pasukan, sesungguhnya apa yang kamu takutkan adalah betul-betul
yang kamu cari, yaitu mati syahid. Kita tidak memerangi musuh karena jumlah,
kekuatan, dan perlengkapan. Kita tidak memerangi mereka melainkan karena ajaran
ini, yang telah Allah l muliakan kita dengannya. Berangkatlah, sesungguhnya itu
adalah salah satu dari dua kebaikan; menang atau mati syahid.”
Serentak
pasukan menyambut benarnya perkataan Abdullah bin Rawahah. Memang, kekuatan apa
lagi yang dapat menghadang laju hati yang berisi keimanan dan tauhid yang
murni. Sekali maju, pantang surut ke belakang.
Sudah
menjadi ketetapan Allah l pula bahwa janji kemenangan hanya untuk orang-orang
beriman dan beramal shalih, yang bila dibandingkan dengan kaum yang durhaka
sangatlah sedikit.
Perang
berkecamuk. Ja’far telah meraih janjinya.
Abdullah
bin Rawahah turun dari kendaraannya. Setelah dia turun, datang putra pamannya
menawarkan sepotong daging kepadanya. Begitu menggigitnya sekali, dia mendengar
suara ramai banyak orang, lalu dia berkata kepada dirinya sendiri: “Dan engkau
masih di alam dunia?” Diapun mengambil pedangnya lalu maju dan bertempur hingga
gugur sebagai syahid.
Dikisahkan,
bahwa yang mengambil bendera setelah gugurnya Abdullah bin Rawahah adalah
Tsabit bin Arqam dari Bani Al-’Ajlan. Dia berkata: “Hai kaum muslimin sekalian,
pilihlah salah seorang dari kalian.” Pasukan itu mengatakan: “Engkau saja.”
Kata
Tsabit: “Aku tidak pantas.”
Akhirnya
mereka memilih Khalid bin Al-Walid. Setelah dia memegang bendera perang, dia
berusaha menyelamatkan pasukan hingga sampai di Madinah.
Dalam
peperangan ini, Khalid bin Al-Walid telah menghabiskan sembilan bilah pedang.
Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t.
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam bersabda, menceritakan berita tentang pasukan muslimin di Mu’tah sebelum
datang kabar dari mereka:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ
فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ -وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ-
حَتَّى أَخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِمْ
“Bendera
dipegang oleh Zaid lalu dia gugur, kemudian dipegang oleh Ja’far diapun gugur.
Kemudian bendera dipegang oleh Abdullah bin Rawahah dan diapun gugur,”
sementara air mata beliau menitik, “Akhirnya bendera dipegang oleh salah satu
pedang dari pedang-pedang Allah hingga Allah bukakan kemenangan bagi mereka.”
Sejak
saat itulah Khalid digelari Saifullah (Pedang Allah).
Khalid bin Walid
Menjadi Panglima
Sebagian
ahli sejarah menceritakan, bahwa setelah Khalid memegang bendera perang, dia
mulai menjalankan taktiknya. Barisan muslimin diubah.
Yang
tadinya di sayap kanan, diletakkan di kiri, dan sebaliknya. Sementara barisan
depan, diletakkan di belakang, dan yang tadinya di belakang diletakkan di
depan.
Diceritakan,
ketika perang mulai berkecamuk kembali, pasukan musuh tersentak luar biasa. Pasukan
musuh menyangka telah datang bala bantuan dari Madinah. Barisan sayap kiri
melihat barisan lawan yang mereka hadapi bukan lagi barisan yang kemarin, telah
berganti wajah baru yang terlihat segar. Demikian pula sayap kanan dan
seterusnya. Akhirnya, semangat mereka mulai kendur dan berangsur-angsur mereka
menarik diri dari medan pertempuran.
Kenyataan
ini dimanfaatkan kaum muslimin menata barisan, dan akhirnya merekapun sepakat
untuk kembali ke Madinah.
Di awal
pertempuran, melihat kenyataan jumlah musuh begitu besarnya, sempat ada
beberapa sahabat berbalik kembali ke Madinah. Tapi mereka tidak dicela oleh
Rasulullah n, meskipun ada beberapa sahabat merasa malu disindir oleh yang
lainnya.
Dari Ummu
Salamah, beliau bertanya kepada istri Salamah bin Hisyam bin Al-Mughirah:
“Mengapa saya tidak pernah melihat Salamah ikut shalat bersama Rasulullah n dan
kaum muslimin?”
Kata
istrinya: “Demi Allah, dia tidak sanggup keluar. Karena setiap kali dia keluar,
orang-orang meneriakinya: ‘Hai pengecut, apa kamu melarikan diri dari perang di
jalan Allah?’ Akhirnya, dia duduk saja di rumah dan tidak keluar-keluar.” Itu
terjadi ketika mereka pulang dari perang Mu’tah.
Ibnu
Katsir t mengatakan: “Adalah wajar, kalaupun itu terjadi. Sebab, kekuatan musuh
ketika itu jauh berkali lipat jumlahnya. Ada yang mengatakan jumlah mereka
lebih kurang seratus sampai duaratus ribu orang.”
Dalam
riwayat At-Tirmidzi, Al-Imam Ahmad, dan Abu Dawud, yang dinilai hasan oleh
At-Tirmidzi menyebutkan tentang larinya mereka dari pertempuran ini, adalah di
awal pertempuran. Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam sebagaimana dalam riwayat itu tidak menyalahkan
mereka. Bahkan mengatakan bahwa mereka adalah: الْعَكَّارُونَ
(orang-orang yang siap kembali setelah mengundurkan diri dari medan
perang).
Dari ‘Auf
bin Malik, bahwasanya Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam tidak memasukkan salb2 ke dalam khumus. 3 Dan
ada prajurit pembantu (dari Yaman) ketika itu menjadi teman dekatnya dalam
perang Mu’tah di pinggiran wilayah Syam. Merekapun bertemu musuh. Seorang
prajurit Romawi dengan kuda dan pelana berhias, mengenakan ikat pinggang emas
dan pedang yang dihiasi dengan emas menyerang pasukan muslimin dengan ganas.
Prajurit pembantu tersebut mengincarnya hingga ketika dia melewatinya, prajurit
bantuan itu menebas kaki-kaki kudanya hingga prajurit Romawi itu jatuh. Segera
prajurit muslim itu melompati dan membunuhnya dengan pedang.
Setelah
Allah l mengalahkan pasukan Romawi, terdapat bukti bahwa prajurit pembantu
itulah yang membunuh tentara Romawi itu. Maka Khalid memberi si prajurit muslim
tersebut pedang (milik tentara Romawi yang dibunuhnya) dan memasukkan lainnya
ke dalam khumus.
‘Auf
berkata: Sayapun menegur Khalid bin Al-Walid: “Apakah engkau tidak tahu, bahwa
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam menetapkan salb itu untuk orang yang membunuh (lawannya)?”
Khalid
menjawab: “Tentu, tapi saya menganggapnya itu sudah banyak.”
Kata
‘Auf: Waktu itu sempat terjadi perdebatan saya dengan Khalid. Sayapun berkata:
“Demi Allah, akan saya ceritakan hal ini kepada Rasulullah n.”
Lalu
setelah kami berkumpul dengan Nabi n, ‘Auf menceritakannya. Rasulullah n pun
bersabda: “Apa yang menghalangimu untuk menyerahkan salb itu kepadanya?”
Kata
Khalid: “Saya anggap itu sudah banyak.”
Kata
beliau: “Serahkanlah kepadanya.”
‘Auf pun
berkata kepada Khalid: “Ambil itu, hai Khalid! Bukankah sudah saya tepati janji
saya kepadamu, hai Khalid?”
Rasulullah
lalu bertanya: “Apa (janji) itu?” ‘Auf kemudian menceritakan kisahnya dengan
Khalid.
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam menjadi marah, lalu beliaupun berkata: “Jangan berikan, hai Khalid! Mengapa
kalian tidak membiarkan aku dengan para pemimpin?”4
Dalam
riwayat Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah n memberi perumpamaan: “Perumpamaan
mereka (para pemimpin dengan yang dipimpinnya) seperti seorang yang
menggembalakan unta lalu membawanya ke tempat peminuman. Lalu unta itu minum
dengan puas air jernihnya, dan meninggalkan yang keruhnya. Untuk kalian yang
jernihnya, tapi yang keruhnya untuk mereka.”
Pensyarah
Sunan Abu Dawud menukil dari Al-Imam An-Nawawi penafsiran beliau tentang
perumpamaan ini: “Bahwa rakyat yang dipimpin, mengambil yang jernih dari urusan
mereka. Akhirnya mereka menerima harta tanpa harus bersusah payah, seperti para
pemimpin, mendapatkan musibah dengan sikap kaku dan kasar dari rakyatnya. Dia
mengumpulkan harta sebagaimana seharusnya, lalu mengaturnya menurut cara yang
semestinya, memerhatikan dan menyayangi rakyat yang dipimpinnya, membela dan
meluruskan sebagian terhadap yang lain. Kemudian jika dia tergelincir, dia
dicela dalam sebagian urusan tersebut.”
Wallahu
a’lam.
(bersambung,
Insya Allah)
1 HR.
Ath-Thabarani dari Ibnu ‘Abbas c dengan dua sanad yang salah satunya hasan.
Lihat tahqiq Zadul Ma’ad (3/384).
2 Salb
adalah apa yang diambil seseorang dalam peperangan, dari lawannya, berupa
kendaraan, senjata, atau pakaiannya.
3 Seperlima dari harta rampasan perang yang
menjadi hak Allah l dan Rasul-Nya n.
4 HR. Abu
Dawud no. 2719 dengan sanad yang shahih.
sumber : http://asysyariah.com/
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar