Pertama: Orang sakit ketika sulit berpuasa.
Yang
dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak
lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat
mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika
sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari lain). Dalil
mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk
orang sakit ada tiga kondisi:[1]
Kondisi
pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap
berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan
perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi
kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama
sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan.
Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap
ingin berpuasa.
Kondisi
ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal
ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Apakah
orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia
ditakutkan sakit?
Boleh
untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan
menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang
sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama
sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al
Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Jika
aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu
kalian.”[2]
Kedua: Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa.
Musafir
yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor
shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa.
Dalil
dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Apakah
jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?
Mayoritas
sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar
itu sah.
Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu
‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa berpuasa ketika safar tidaklah sah
dan tetap wajib mengqodho’. Ada
yang mengatakan bahwa seperti ini dimakruhkan.
Namun
pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil
yang nanti akan kami sampaikan.
Manakah
yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti
lebih jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa
musafir ada tiga kondisi.
Kondisi
pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik
ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat
kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ،
فَرَأَى زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » .
فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى السَّفَرِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang
berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun
mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa
ketika dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar
karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk
berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada
saat ini lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa ketika
safar.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ
أَسْفَارِهِ فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ
مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami
pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya
pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan
tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada
yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah
yang berpuasa ketika itu.”[4]
Apabila
tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih
cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena
berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa
sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi
ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan
diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ
الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ
فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ
النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ
قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H)
menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika
sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah),
orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan
segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan
beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal
tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap
berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu
adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam
kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Kapan
waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?
Dalam
hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:
Pertama,
jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan
dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu;
untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan
kesepakatan para ulama. Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut
musafir karena sudah adanya sebab yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Kedua, jika safar dilakukan setelah fajar (atau
sudah di waktu siang), maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga
pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu.
Inilah pendapat yang lebih kuat.
Dalil
dari pendapat terakhir ini adalah keumuman
firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dan
juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H)
menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika
sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah),
orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan
segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan
beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. …
Begitu
pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ
سَفَرًا وَقَدْ رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا
بِطَعَامٍ فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
“Aku
pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga
ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah
mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta makanan, lantas beliau pun memakannya.
Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?”
Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan
kendaraannya.”[6] Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka
sebelum dia pergi bersafar.
Ketiga,
jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di
tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil
yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda: “Kami pernah
keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada
hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di
kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang
berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang
berpuasa ketika itu.”[7]
Kapan
berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?
Berakhirnya
keringanan (rukhsoh) bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua
keadaan: (1) ketika berniat untuk bermukim, dan (2) jika telah kembali ke
negerinya.
Jika
orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka
keesokan harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini.
Sedangkan
apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa,
apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?
Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat
yang lebih tepat adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi
boleh tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan
Imam Malik. Terdapat perkataan yang shohih dari Ibnu Mas’ud,
مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ
“Barangsiapa
yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di
pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu
berpuasa.[9]
Ketiga: Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga
orang sakit yang tidak kunjung sembuh.
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa,
boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut
mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan
kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas
ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu
pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua
rentah yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan
fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).
Ibnu
Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka
dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan
orang yang sudah tua.”[10]
Keempat: Wanita hamil dan menyusui.
Di
antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita
hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin
yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia
sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka
boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di
antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ
الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ
“Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan
puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]
Namun
apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho’
ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.
Al
Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama
salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali
berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak
berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat
Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat cukup keduanya membayar
fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu ‘Umar dan Mujahid berpendapat
bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho’.”[12]
Pendapat
terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua alasan yang bisa diberikan,
Alasan
pertama: dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ
وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya
Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan
menyusui.”[13]
Al
Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja
khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil
dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan
puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi
musafir. … Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak
berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang
demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]
Perkataan
Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.
Alasan
kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja
(tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit.
Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari
lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap
seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat
ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum
wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka
keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk
mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang
yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan
fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak
berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua
punya kewajiban qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir
atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa,
-pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[15]
Kondisi
ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan
qodho’[16]. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan
untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka
tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam
keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang
sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada
penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang
miskin setiap harinya.[17]
Catatan
penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak
berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya
atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan
menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada
kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi
keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa
pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak
boleh ia tidak berpuasa.”[18]
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
copas from Artikel
www.muslim.or.id
[1]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118-120.
[2]
HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah.
[3]
HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115.
[4]
HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122.
[5]
HR. Muslim no. 1114.
[6]
HR. Tirmidzi no. 799. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[7]
HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122
[8]
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnaf-nya 2/286. Abu Malik
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[9]
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/120-125.
[10]
Al Mughni, 4/396.
[11]
HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[12]
Ahkamul Qur’an, 1/224. Lihat pula Bidayatul Mujtahid hal. 276 dan Shahih Fiqh
Sunnah 2/125-126.
[13]
HR. An Nasai no. 2274 dan Ahmad 5/29. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[14]
Ahkamul Qur’an, Ahmad bin ‘Ali Ar Rozi Al Jashshosh, 1/224
[15] Majmu’ Al Fatawa Ibnu Baz, 15/225
[16] Wanita yang dalam kondisi semacam ini
menunaikan qodho’ di saat dia mampu. Jika sampai dua tahun ditunda karena masih
butuh waktu untuk menyusui, maka tidak mengapa dia tunda qodho’nya sampai dia
mampu.
[17]
Lihat Panduan Ibadah Wanita Hamil, hal. 46.
[18]
Ahkamul Qur’an, Al Jashshosh, 1/223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar