Imam
Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Amir bin Syurahil Asy-Sya’bi
suku Hamdan, bahwa ia pernah bertanya kepada Fatimah binti Qais,
saudara wanita Adh-Dhahhak bin Qais, salah seorang muhajirah (peserta
hijrah wanita) angkatan pertama. Amir berkata kepada Fatimah,
“Sampaikanlah kepadaku sebuah hadits yang engkau dengar dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam secara langsung tanpa melalui orang lain.”
Fatimah menjawab, “Jika engkau menginginkan akan saya lakukan.” Amir
berkata, “Benar, ceritakanlah kepadaku.” Fatimah berkata, “Dahulu saya
kawin dengan Ibnul Mughirah, salah seorang pemuda Quraisy yang baik pada
waktu itu, lalu ia gugur dalam jihad pertama bersama Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam. Ketika saya menjanda, saya dilamar oleh
Abdur Rahman bin Auf, salah seorang kelompok sahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam meminangku untuk mantan budaknya yang
bernama Usamah bin Zaid, sedangkan saya pernah mendapatkan berita bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa
yang mencintai aku hendaklah ia mencintai Usamah.”
Label
- Aqidah (25)
- Do'a (5)
- Fiqih (16)
- Hadits (10)
- Info Mumtaz (8)
- kajiansunnahmajenang (4)
- Tarikh (12)
Rabu, 31 Juli 2013
Kisah Dajjal Terbelenggu di Sebuah Pulau
Imam Ahmad Bin Hambal
Nama dan
Nasab :
Kunyah
beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad
Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di
bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa
Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.
Kelahiran
Beliau :
Beliau
dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau
tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal
dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim,
namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau
menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap
menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.
Obat Segala Penyakit
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami
turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)
Rahasia Alam Ghaib
Penglihatan
manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok. Contoh
kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh
karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan
mendewakan panca inderanya.
Merunut
sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala– mempunyai
keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya
bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa datang. Saking
penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca: mengharuskan) diri untuk
mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang
pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun
didengar, dengan kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya
(tathayyur). Dan ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang
diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap
mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya
dan meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan
gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul
musta’an.
Selasa, 30 Juli 2013
Perang Mut'ah
Tikaman
demi tikaman terhadap Islam terus saja berlangsung. Peristiwa kali ini pun
akhirnya membuka babak baru pertempuran antara Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam dan para sahabatnya
melawan persekongkolan musyrikin dan salibis, perang Mu’tah.
Peristiwa
ini terjadi di daerah Mu’tah dekat Balqa’ wilayah Syam (sekarang Jordania).
Peristiwa ini terjadi pada tahun ke delapan hijriyah di bulan Jumadil Ula.
Di antara
sebab terjadinya pertempuran, Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam pernah mengutus Al-Harits bin ‘Umair
Al-Azdi Radiyallaahu'anh membawa sepucuk surat kepada pembesar Romawi atau Bushra. Lalu dia
dihadang oleh Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani yang lantas membunuhnya. Padahal
belum pernah ada seorangpun utusan Rasulullah Shallallaahu'alaihi wasallam terbunuh selain dia.
Ibadah 500 Tahun, Hanya Sebanding Dengan Satu Kenikmatan
Dari
Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam keluar menuju kami, lalu bersabda,
‘Baru
saja kekasihku Malaikat Jibril menemuiku dia memberitahu, ‘Wahai Muhammad, Demi
Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran.
Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba di
antara sekian banyak hamba-Nya yang melakukan ibadah kepada-Nya selama 500
tahun. Ia hidup di puncak gunung yang berada di tengah laut.
Kisah PERANG YARMUK
Sejarah
kejayaan Islam tak lepas dari amalan jihad yang diperani oleh para pendahulu
umat ini. Jihad memiliki kedudukan mulia di dalam Islam. Tentunya, diatas
ketentuan yang telah digariskan Allah
dan Rasul-Nya . Bukan aksi teror yang muncul dari semangat tanpa ilmu.
Tulisan berikut ini adalah memaparkan gambaran jihad fii sabilillaah di masa
Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq .
Imam Asy Syafi'i
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian
panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi,
prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang
baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan
beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di
bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab.
Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik
atas itu semua.
Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di
tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun
penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam
sanubari umat.
Atha’ bin Abi Rabah
Kita berada di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijjah tahun 97 H.
Saat dimana Baitul ‘Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyambut
panggilan Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan
kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia ada pula yang muda
belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih ada pula yang
hitam warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang ‘Ajam, ada raja ada
pula rakyat jelata.
Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah kaum muslimin,
raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa
mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa mengenakan apapun
selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan
rakyat biasa. Beliau layaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di
belakangnya turut kedua puteranya. Mereka laksana bulan purnama yang
terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan
wangi baunya.Setelah usai melakukan thawaf, khalifah menghampiri seorang
kepercayaannya dan bertanya, “Di manakah temanmu itu?” sambil menunjuk
ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab, “Di sana, beliau sedang
berdiri untuk shalat.” Dengan diiringi kedua puteranya khalifah
bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud
menyimak kerumunan orang untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar
tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya sembari berkata, “Ini
adalah suatu tempat yang tidak membeda-bedakan antara raja dan rakyat
jelata, tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun
melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut
berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak
diberikan kepada para raja.” Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki
yang dimaksud, beliau dapatkan ia dalam keadaan shalat, hanyut dalam
ruku’ dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan
dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis begitu pula
dengan kedua anaknya.
Jumat, 26 Juli 2013
Bacaan Dalam Shalat Jenazah
صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
“Aku shalat di belakang Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma pada suatu jenazah, lalu ia membaca surat Al Fatihah. Lalu beliau berkata, “Agar orang-orang tahu bahwa itu (membaca Al-Fatihah dalam shalat jenazah) adalah sunah.” (HR. Al-Bukhari no. 1335)
Masuk Islamlah, Untukmu Dua Pahala
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar ibnu Rifai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي
نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ
الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat, yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini, Yahudi atau Nasrani, yang mendengar tentang diriku lantas mati dalam keadaan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali pasti ia termasuk penduduk neraka.”Satu celupan yang melupakan segalanya
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya :
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ
الْبُنَانِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا
مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ
صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ
مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى
بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ
رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا
وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً
قَطُّ
Amr an-Naqid menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun
menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hammad bin Salamah memberitakan
kepada kami dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik, dia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat
nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang
yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di
dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak
Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu
pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi
Allah, belum pernah wahai Rabbku!’. Dan didatangkan pula seorang
penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling
merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu
kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu
pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan
kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah
wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun.
Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.
(HR. Muslim
dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)
Beberapa Kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
Sebagai rasul yang terakhir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan dibandingkan dengan nabi yang lain. Beliau juga memiliki hak-hak atas umat manusia. Di antara yang wajib diimani sebagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beliau menjadi penutup para nabi, tidak ada nabi setelah beliau. Beliau diutus untuk seluruh manusia sepanjang zaman hingga hari kiamat, sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing. Selain itu, wajib diimani pula bahwa syariat beliau menghapus syariat-syariat sebelumnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki beberapa kekhususan lainnya. Dalam ruang yang terbatas ini, mari kita melihat beberapa kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hak-hak beliau atas umatnya. Kita awali dengan pembahasan kekhususan beliau atas para nabi dan rasul.
Sebagai rasul yang terakhir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan dibandingkan dengan nabi yang lain. Beliau juga memiliki hak-hak atas umat manusia. Di antara yang wajib diimani sebagai kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah beliau menjadi penutup para nabi, tidak ada nabi setelah beliau. Beliau diutus untuk seluruh manusia sepanjang zaman hingga hari kiamat, sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing. Selain itu, wajib diimani pula bahwa syariat beliau menghapus syariat-syariat sebelumnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memiliki beberapa kekhususan lainnya. Dalam ruang yang terbatas ini, mari kita melihat beberapa kekhususan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan hak-hak beliau atas umatnya. Kita awali dengan pembahasan kekhususan beliau atas para nabi dan rasul.
Selasa, 23 Juli 2013
Penguasa 1/3 Belahan Dunia Dari Quraisy Al-Faruq ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu
Pengantar Tiga belas tahun setelah hancurnya Tentara Bergajah, bani
‘Adi bin Ka’b, terkhusus keluarga al- Khaththab bin Nufail, kembali
merayakan kegembiraan karena telah lahir seorang bayi laki-laki yang
sehat. Bayi yang menjadi kebanggaan bagi setiap suku apabila wanita
mereka melahirkan anak. Bayi yang akan menguatkan barisan mereka dan
menaikkan pamor mereka. Bayi ini tidak hanya menjadi kebanggaan bani
‘Adi saat itu, tetapi juga di masa yang akan datang. Bayi itu kelak akan
menjadi saksi bagi para penguasa dan politikus di belahan dunia mana
pun. Bayi itu adalah ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza
bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’b bin Luai
bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada Ka’b bin Luai. Ibunya bernama Hantamah bintu Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Kulitnya putih kemerah-merahan, dadanya bidang, tubuhnya tegap, dan tingginya melebihi yang lain, seolaholah kalau berjalan bersama sahabat sahabatnya, dia seperti sedang menaiki kendaraan. Rambutnya terjurai di kedua sisi kepalanya, dan bagian atasnya botak, kumisnya lebat, sedangkan janggutnya diberi warna kuning dan rambutnya dipoles inai. Di masa jahiliah, ‘Umar sering ikut meramaikan pasar ‘Ukkazh dengan kemampuannya bergulat, bahkan sering mengalahkan lawannya. Selalu terlihat berpakaian kasar, dan biasanya dari wol dengan hampir dua puluh tambalan dari kulit. Ini juga yang diikuti oleh semua pejabatnya, yang ada di tempat (Madinah dan sekitarnya) ataupun yang ada di negeri yang jauh. Bahkan, gaya hidup sederhana ‘Umar ditiru oleh mereka, padahal Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kemenangan untuk mereka.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada Ka’b bin Luai. Ibunya bernama Hantamah bintu Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Kulitnya putih kemerah-merahan, dadanya bidang, tubuhnya tegap, dan tingginya melebihi yang lain, seolaholah kalau berjalan bersama sahabat sahabatnya, dia seperti sedang menaiki kendaraan. Rambutnya terjurai di kedua sisi kepalanya, dan bagian atasnya botak, kumisnya lebat, sedangkan janggutnya diberi warna kuning dan rambutnya dipoles inai. Di masa jahiliah, ‘Umar sering ikut meramaikan pasar ‘Ukkazh dengan kemampuannya bergulat, bahkan sering mengalahkan lawannya. Selalu terlihat berpakaian kasar, dan biasanya dari wol dengan hampir dua puluh tambalan dari kulit. Ini juga yang diikuti oleh semua pejabatnya, yang ada di tempat (Madinah dan sekitarnya) ataupun yang ada di negeri yang jauh. Bahkan, gaya hidup sederhana ‘Umar ditiru oleh mereka, padahal Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kemenangan untuk mereka.
Hak-hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas Umat Manusia
Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc
Sebagai penutup para nabi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hak-hak yang besar atas umat manusia. Di antara hak-hak tersebut adalah sebagai berikut.
Wajib atas umat manusia mencintai beliau melebihi kecintaan kepada segala sesuatu, termasuk kepada dirinya.
Wajib atas umat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kecintaan yang lebih dari kecintaan kepada yang lain. Allah Subhanahu wata’ala memberitakan bahwa lebih mencintai selain Allah Subhanahu wata’ala, Rasulullah, dan jihad fi sabililah menyebabkan kemurkaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
Sebagai penutup para nabi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hak-hak yang besar atas umat manusia. Di antara hak-hak tersebut adalah sebagai berikut.
Wajib atas umat manusia mencintai beliau melebihi kecintaan kepada segala sesuatu, termasuk kepada dirinya.
Wajib atas umat mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kecintaan yang lebih dari kecintaan kepada yang lain. Allah Subhanahu wata’ala memberitakan bahwa lebih mencintai selain Allah Subhanahu wata’ala, Rasulullah, dan jihad fi sabililah menyebabkan kemurkaan-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قُلْ
إِن كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ
وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ
كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (at-Taubah: 24)Abdullah bin Abbas : Sang Penerjemah Quran
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum karena kitab ini (yakni Al-Quran) dan merendahkan kaum lainnya dengannya.” [H.R. Muslim dari shahabat Umar bin Al-Khaththab z].Inilah sepenggal hadits yang menunjukkan dahsyatnya ilmu Al-Quran. Ilmu ini akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkannya tergantung dengan kualitas keilmuan dan pengamalan Al-Quran.
Dalam sejarah Islam yang gemilang, tercatatlah nama Abul Abbas Abdullah bin Abbas Radiyallahu'anhu Beliau adalah seorang shahabat mulia yang telah mengecap manisnya ilmu syariat semenjak kecil. Kemuliaan demi kemuliaan dia raih setimpal dengan ilmu yang dia peroleh. Tentu kisahnya menarik untuk kita cermati dan kita ambil pelajaran darinya.
Ilmu Berbuah Bahagia
Ilmu ibarat pisau bermata dua.
Barakahnya melimpah dunia akhirat ketika disyukuri, sebaliknya akan
menjadi petaka yang tidak berakhir ketika dikufuri. Sebagaimana
Rasulullah ` pernah mewanti-wanti, “Al Quran adalah hujah yang membelamu atau justru akan menuntutmu.” [H.R. Muslim dari shahabat Abu Malik Al Asy’ari Radiyallaahu'anh].
Al
Quran justru akan menuntut seseorang apabila ilmu Al Quran yang ia
miliki sekedar wawasan tidak diamalkan. Allah pun mencela mereka yang
tidak mengamalkan ilmunya, celaan yang dibaca sepanjang zaman. Allah
berfirman:
“Apakah kalian suruh orang lain
(mengerjakan) kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri,
padahal kalian membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kalian berpikir?” [Q.S. Al Baqarah:44].
Syaikh As Sa’di menafsirkan bahwa walaupun ayat ini turun khusus pada
Bani Israil, tetapi hukumnya umum untuk siapa saja yang tidak
mengamalkan ilmunya. Berdasarkan firman Allah dalam surat Ash Shaff,
“ Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?
Amat besar kemurkaan Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” [Q.S. Ash Shaff:2,3]. [Taisir kariimirrahman].
Wajib Belajar Selamanya
Manusia terlahir di dunia dalam keadaan
yang lemah tidak mengetahui apapun. Allah mengingatkan kondisi kita kala
itu dalam salah satu ayat-Nya. Allah berfirman yang artinya,
“Dan Allah mengeluarkan kalian dari
perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati agar kalian
bersyukur.” [Q.S. An Nahl:78].
Nikmat ini kemudian Allah dukung dengan
kesehatan jasmani dan rohani. Allah berikan pula berbagai sarana
pembelajaran seperti pendengaran, penglihatan, dan hati. Sehingga,
manusia bisa belajar dari sekitarnya.
Kisah Ashabul Ukhdud
Ashabul ukhdud adalah
kaum yang dilaknat oleh Allah. . Dengan api inilah mereka memaksa
orang-orang yang beriman untuk kembali kepada agama mereka semula, agama
yang menjadikan makhluk sebagai sesembahan selain Allah. Setiap orang
yang beriman kepada Allah dan mengingkari peribadahan kepada selain-Nya,
mereka lemparkan kedalam api, sebagaimana Allah kisahkan dalam
ayat-Nya,
“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang
berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di
sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap
orang-orang yang beriman. dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin
itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang
Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” [Q.S. Al Buruj:4-9].
Senin, 22 Juli 2013
Memahami nama Allah “Ar Rozzaq”
Kita telah mengetahui bahwa Allah satu-satunya pemberi rizki. Rizki
sifatnya umum, yaitu segala sesuatu yang dimiliki hamba, baik berupa
makanan dan selain itu. Dengan kehendak-Nya, kita bisa merasakan
berbagai nikmat rizki, makan, harta dan lainnya. Namun mengapa sebagian
orang sulit menyadari sehingga hatinya pun bergantung pada selain Allah.
Lihatlah di masyarakat kita bagaimana sebagian orang mengharap-harap
agar warungnya laris dengan memasang berbagai penglaris. Agar bisnis
komputernya berjalan mulus, ia datang ke dukun dan minta wangsit, yaitu
apa yang mesti ia lakukan untuk memperlancar bisnisnya dan mendatangkan
banyak konsumen. Semuanya ini bisa terjadi karena kurang menyadari akan
pentingnya aqidah dan tauhid, terurama karena tidak merenungkan dengan
baik nama Allah “Ar Rozzaq” (Maha Pemberi Rizki).
Sabtu, 20 Juli 2013
Memilih Teman Duduk
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ
وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا
أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رَيْحًا طَيِّبَةً،
وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ
مِنْهُ رِيْحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak.”
Kriteria Imam dalam Shalat
Sahabat mulia, Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu bercerita,
أَتَيْنَا
النَّبِيَّ, وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ
عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا
عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ وَكَانَ رَفِيقًا
رَحِيمًا فَقَالَ: ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ
فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Kami pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, kami semua pemuda sebaya. Kami pun bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam selama 20 hari 20 malam. Setelah memandang bahwa kami telah merindukan keluarga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada kami tentang keluarga yang kami tinggalkan. Kami pun menceritakannya kepada beliau. Ternyata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
orang yang penuh kasih sayang dan kelembutan. Setelah itu beliau
bersabda, ‘Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah di antara mereka,
ajari dan perintahkan mereka (untuk melaksanakan Islam). Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat. Jika waktu
shalat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya
mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian
menjadi imam’.”
Kedudukan Hadits Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu
Hadits di atas, dengan tambahan lafadz ( وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ), dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah di tiga tempat dalam Shahih al-Bukhari,
1. Kitab al-Azan (no. 631)
2. Kitab al-Adab (no. 6008)
3. Kitab Akhbarul Ahad (no. 7246)
Ketiga riwayat tersebut bersumber dari jalur Ayyub dari Abu Qilabah dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu.
Mengenai sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, beliau adalah Abu
Sulaiman Malik bin al-Huwairits bin Asyam bin Zabalah bin Hasyis. Beliau
berasal dari suku Sa’d bin Laits bin Bakr bin Abdu Manat bin Kinanah.
Beliau menetap di Bashrah hingga wafatnya pada 74 H. Malik bin
al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu memiliki beberapa hadits di dalam Shahih al- Bukhari, seluruhnya berkenaan dengan tata cara shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Peristiwa datangnya Malik bin al- Huwairits radhiyallahu ‘anhu bersama rombongan dari suku Laits disebutkan oleh sebagian ahli sejarah terjadi pada tahun al- Wufud (tahun kedatangan utusan secara bergelombang dari berbagai negeri untuk menyatakan keislaman). Ibnu Sa’d rahimahullah menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum Perang Tabuk yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. (Fathul Bari, 13/292—293)
Pandangan Ulama tentang Hadits Ini
Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan, “Hadits ini adalah landasan yang kuat untuk menyatakan bahwa apa yang dilakukan dan yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat adalah bayan (penjelasan) tentang perintah shalat yang masih mujmal (global) di dalam al-Qur’an.” (Subulus Salam) Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan tentang wajibnya seluruh perbuatan dan ucapan di dalam shalat yang tsabit (sahih) dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang mendukung hal ini adalah tata cara tersebut merupakan bentuk bayan (penjelasan) terhadap firman Allah Subhanahu wata’ala yang masih mujmal (global) dari ayat,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
‘Dan dirikanlah shalat.’ (al- Baqarah: 43)
Perintah di atas adalah perintah al- Qur’an yang menunjukkan wajib. Dan bayan (penjelasan) untuk bentuk mujmal (global) yang wajib juga dihukumi wajib.” (Nailul Authar 2/175)
Adapun sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melaksanakan shalat,”
diterangkan oleh al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “ (Kalimat ini) adalah bentuk perintah yang mencakup segala hal yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
di dalam shalatnya. Hal-hal yang dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat,
maka tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya di dalam shalat. Adapun
yang tidak dikecualikan oleh ijma’ atau riwayat, maka hal itu adalah
perintah yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum muslimin seluruhnya,
apa pun alasannya.” (al- Ihsan, 3/286)
Beberapa Hukum dan Faedah dari Hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu
Ada banyak hukum dan faedah yang dapat dipetik dari hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu antara lain,
1. Semangat setiap muslim untuk menyampaikan ilmu dan kebenaran.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah memberikan judul bab untuk hadits di atas di salah satu pembahasannya, “Motivasi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
kepada Utusan Suku Abdul Qais Agar Mereka Menghafalkan Iman dan Ilmu
lalu Menyampaikannya kepada Masyarakat Mereka.” Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepada kami, ‘Pulanglah kepada keluarga kalian dan ajarkanlah ilmu kepada mereka’.”
2. Azan dan iqamat disyariatkan untuk shalat saat sedang safar.
Hukum ini diambil dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pada hadits di atas,
وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكمْ
“Jika waktu shalat telah tiba, hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan untuk kalian.”
Al-Imam Bukhari rahimahullah membuat judul untuk hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Azan dan Iqamat bagi Musafir Apabila Mereka Berjamaah”. Dalil lain adalah hadits Abu Qatadah rahimahullah dalam riwayat Muslim (no. 681) yang secara panjang mengisahkan salah satu safar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perjalanan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat tertidur sampai matahari terbit. Kemudian Bilal Shallallahu ‘alaihi wasallam mengumandangkan azan. Dalil berikutnya adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2203), beliau pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَعْجَبُ
رَبُّكُمْ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةٍ بِجَبَلٍ يُؤَذِّنُ
بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي فَيَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى
عَبْدِي هَذَا، يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّي، قَدْ
غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
“Rabb kalian kagum terhadap seorang penggembala kambing yang
berada di puncak bukit. Ia mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat.
Lalu Allah Shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman,
‘Lihatlah hamba- Ku ini. Ia mengumandangkan azan dan melaksanakan shalat
karena takut kepada-Ku. Sungguh, Aku telah memberikan ampunan untuknya
dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga’.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah membuat judul untuk hadits di atas, bab “Azan di Saat Safar.” Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (1/65).
3. Bersikap kasih sayang dan lembut kepada sesama manusia.
Al – Imam al – Bukhari rahimahullah memberikan judul untuk
hadits di atas pada salah satu pembahasannya, bab “Bersikap Rahmat
kepada Binatang dan Manusia”. Faedah ini dipahami dari keterangan Malik
bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu yang menilai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang penuh kasih dan kelembutan.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar radhiyallahu ‘anhu menerangkan bahwa ada dua riwayat di dalam Shahih al-Bukhari untuk lafadz
,(رَفِيقًا)
رَفِيقًا) ), dengan huruf fa’ kemudian qaf
رَقِيقًا) ), dengan huruf qaf kemudian qaf lagi. Adapun di dalam riwayat Muslim hanya dengan lafadz ( رَقِيقًا ), dengan huruf qaf kemudian qaf lagi. Namun, kedua lafadz tersebut satu makna.
4. Keterangan tentang salah satu kriteria imam shalat.
Adapun kriteria seorang muslim yang berhak menjadi imam telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits secara berurutan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاءَةِ
سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ
سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً
فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي
سُلْطَانِهِ وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا
بِإِذْنِهِ
“Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang
paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Jika mereka setara dalam bacaan
al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang
sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
(yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika
mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih
dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu) Dalam riwayat lain, ada tambahan lafadz,
فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا
“Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.”
Dengan demikian, yang paling berhak menjadi imam shalat secara berurutan adalah;
1. Yang paling pandai membaca al-Qur’an. Jika sama-sama pandai,
2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Jika sama-sama mengerti,
3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal hijrah,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam,
5. Yang lebih tua.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-aqra’, apakah yang paling
baik bacaannya ataukah yang paling banyak hafalannya? Jawabannya adalah
yang paling baik bacaannya. Maknanya, yang bacaannya sempurna dengan
pengucapan huruf sesuai dengan makhrajnya. Adapun keindahan suara
bukanlah syarat. Jika ada dua orang;
1. Bacaan al-Qur’annya sangat baik.
2. Bacaannya baik, namun tidak sebaik orang pertama, hanya saja ia
lebih menguasai fikih tentang shalat dibandingkan dengan orang pertama.
Dalam hal ini, orang kedua lebih berhak untuk menjadi imam shalat.
Pembahasan ini tidak berlaku jika pada pelaksanaan shalat berjamaah di
sebuah masjid telah ditunjuk imam tetap, maka imam tetap tersebut yang
paling berhak selama tidak ada uzur.
(asy-Syarhul Mumti’, Ibnu Utsaimin)
5. Riwayat ahad dapat diterima meskipun di dalam masalah akidah.
Hal ini berseberangan dengan yang diyakini oleh kaum Mu’tazilah. Al-Imam al-Bukhari rahimahullah
menamakan sebuah bab untuk hadits di atas pada salah satu
pembahasannya, bab “Keterangan tentang Diperbolehkannya Khabar dari Satu
Orang yang Jujur Tepercaya dalam Masalah Azan, Shalat, Puasa,
Kewajiban- Kewajiban Islam, dan Masalah Ahkam.”
6. Perjuangan dakwah Islam tidak pernah lepas dari peran dan andil para pemuda.
Di dalam hadits di atas, suku Laits mengutus kaum muda untuk
mempelajari syariat Islam agar dapat diajarkan kembali kepada
masyarakatnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Ashabul Kahfi,
إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (al-Kahfi: 13)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala
menjelaskan (tentang Ashabul Kahfi) bahwa mereka adalah para pemuda.
Kaum muda lebih mudah menerima al-haq (kebenaran) dan lebih cepat
mengikuti jalan kebaikan dibandingkan dengan kaum tua. Sebab, kaum tua
telah terlalu jauh dan tenggelam di dalam agama kebatilan. Oleh sebab
itu, kalangan sahabat yang menyambut seruan Allah Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya didominasi oleh kaum muda. Adapun kalangan tua Quraisy,
mayoritas mereka tetap memilih agama nenek moyang. Hanya sedikit saja
dari kalangan tua yang masuk Islam.” Di dalam ayat lain, tentang dakwah
Nabi Musa ‘Alaihissalam, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَا آمَنَ لِمُوسَىٰ إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ عَلَىٰ خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَن يَفْتِنَهُمْ ۚ
“Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, selain pemuda-pemuda
dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka
kaumnya akan menyiksa mereka.” (Yunus: 83)
Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Allah Subhanahu wata’ala
memberikan kabar, meskipun Nabi Musa ‘Alaihissalam membawa ayat-ayat
yang kuat, argumen-argumen pasti, dan alasan-alasan yang jelas, tetap
saja kaumnya tidak beriman kecuali sedikit sekali. Yang sedikit itu
adalah kaum dzurriyah, yaitu kaum muda. Itu pun masih dibayangi
oleh kecemasan dan kekhawatiran dari makar Fir’aun dan pengikutnya yang
berusaha mengembalikan mereka kepada kekufuran sebagaimana dahulu.”
Mudah-mudahan beberapa pelajaran dari hadits Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu di atas bermanfaat.
Wallahul muwaffiq.
Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai
sumber : http://asysyariah.com/hadits-kriteria-imam-dalam-shalat.html
Antara Qadha dan Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui
Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat
menyusui memang berbeda-beda. Namun, pada dasarnya, kalori yang
dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang buah hati adalah sama, yaitu
sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori
perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi
yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan
Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya
dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula
para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan
keadaan dirinya jika harus terus berpuasa di bulan Ramadhan begitu pula
para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih
sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang
ibu.
Kedua kondisi terakhir, memiliki konsekuuensi hukum yang berbeda bentuk pembayarannya.
Doa Berbuka Puasa yang Shahih
Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa
berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu
shahih derajatnya.
Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla
dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua.
Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang
terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang
shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan
mengamalkannya. Amin.
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat
kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala
rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan
rezeki-Mu aku berbuka).”[1]
Mempertahankan Identitas Muslim di Tengah Derasnya Arus Globalisasi Mode
Bagi orang yang berakal, hidup di dunia ini tak bisa semaunya. Segala
sesuatu ada aturan dan rambu-rambunya termasuk dalam ranah kehidupan
beragama. Seseorang tak bisa memilih sembarang agama. Hanyalah Islam
satu-satunya agama yang sempurna dan diridhai oleh Allah Subhanahu wata’ala, Rabb alam semesta. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Pakaian yang menutupi mata kaki
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”
Sarung, celana, jubah, atau yang semisal, biasanya dikenakan oleh
kaum musbil hingga menutupi mata kaki. Kebiasaan yang perlu dikritisi
secara tinjauan syariat Islam. Mengapa hal “remeh” semacam ini dibahas?
Itulah kesempurnaan ajaran Islam. Cara berpakaian pun ada aturannya.
Jumat, 19 Juli 2013
Madrasah Mumtaz Majenang - Kontrakan
Rambu – Rambu Berpakaian
Walaupun Islam memberikan kelonggaran dan keleluasaan dalam hal
berpakaian, baik dari sisi warna, bahan, maupun jenis dan bentuknya,
Islam menetapkan rambu-rambu dan aturan-aturan yang harus diperhatikan
dan yang tidak boleh dilanggar. Rambu-rambu tersebut menjadi pembeda
antara pakaian syar’i yang menandakan ketakwaan dan keteguhan agama
seseorang, dan pakaian nonsyar’i yang melambangkan kecenderungan dan
karakter masing-masing orang. Rambu-rambu tersebut ada yang sifatnya
anjuran wajib atau sunnah, ada pula yang bersifat larangan haram atau
makruh. Berikut ini ada beberapa rambu umum yang patut diperhatikan.
Hanya Allah yang berhak menghalalkan dan mengharamkan
Allah Subhanahu wata’ala memiliki hak-hak yang khusus. Di antara hak khusus bagi Allah Subhanahu wata’ala adalah hak tasyri’, yakni menetapkan syariat yang wajib dijalani oleh makhluk-Nya. Di antara perkara tasyri’ adalah penetapan halal dan haram.
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ
اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ
الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan
syariat untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak
adaketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah
dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang amat pedih.” (asy-Syura: 21)
Puasa tapi tidak BERJILBAB....
Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Kita
telah mengetahui bersama mengenakan jilbab adalah suatu hal yang wajib.
Sebagaimana kewajibannya telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits sebagai
pedoman hidup kita. Namun kenyataaan di tengah-tengah kita, masih banyak yang
belum sadar akan jilbab termasuk pada bulan Ramadhan. Tulisan ini akan
menjelaskan bagaimanakah status puasa wanita yang tidak berjilbab. Semoga
bermanfaat.
Tradisi maaf-maafan menjelang Ramadhan
Assalamu
‘alaikum. Benarkah isi sms maaf-maafan yang marak tersebar akhir-akhir ini?
Isinya:
Ketika
Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau
mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah
mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para
sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika
selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian
beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril
dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Hukum FIDYAH
Di
antara syari’at yang diberlakukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shaum Ramadhan adalah pembayaran fidyah
yang Allah wajibkan terhadap pihak-pihak tertentu yang mendapatkan keringanan
untuk tidak bershaum pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa
Ta’ala :
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين / البقرة : 184
‘Dan
wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak bershaum)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah : 184]
Orang yang mendapat keringanan Puasa
Pertama: Orang sakit ketika sulit berpuasa.
Yang
dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya tidak
lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat
mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika
sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari lain). Dalil
mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Kamis, 18 Juli 2013
Radio Dakwah Salafiyah MUMTAZ 88.0 FM
Mengenal NAJIS
Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah yang patut diibadahi.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian
Najis
Najis
adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang
selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Apabila pakaian terkena najis
–seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Rabu, 17 Juli 2013
WANITA SALAFIYAH
Oleh : Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah
Sebuah kenikmatan yang besar tatkala seorang wanita muslimah
diberikan hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengenal dan
kemudian berpegang teguh dengan aqidah serta manhaj salaf Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Agar nikmat besar yang tiada taranya ini terus langgeng,
maka wajib untuk dijaga dengan mensyukurinya. Di antara bentuk syukur
tersebut adalah berusaha bersikap dan berhias dengan beberapa sifat yang
menjadi kekhususan wanita salafiyah, yang tidak dimiliki oleh selain
mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah telah menjelaskan
beberapa sifat dan perangai wanita salafiyah tersebut, di antaranya
adalah:
Hati-Hati dengan Ruwaibidhah
Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunannya :
Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ
بْنُ قُدَامَةَ الْجُمَحِيُّ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ عَنْ
الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ
خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ
وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ
فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ
التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
Abu Bakr bin Abi Syaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abdul Malik bin Qudamah al-Jumahi menuturkan kepada kami dari Ishaq bin Abil Farrat dari al-Maqburi dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [1887] as-Syamilah).
Minggu, 14 Juli 2013
Ajibnya Urusan Seorang Mukmin
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ
خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ
شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً
لَهُ
Berdzikir dengan Tangan Kanan
Rabu, 10 Juli 2013
Umat Manusia Terbaik
Generasi terbaik umat ini adalah para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sebaik-baik manusia. Lantas disusul generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya. Tiga kurun ini merupakan kurun terbaik dari umat ini.
Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, bahwa dia mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرَ
أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian
orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang
setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650)
Mereka
adalah orang-orang yang paling baik, paling selamat dan paling mengetahui dalam
memahami Islam. Mereka adalah para pendahulu yang memiliki keshalihan yang
tertinggi (as-salafu ash-shalih).
Mengenal SUNNAH
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور
أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له, وأشهد
أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيراً وَنِسَاءً وَاتَّقُوا الله الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ الله كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا
قَوْلاً سَدِيداً، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً
أما بعد:
Ini
adalah risalah singkat mengenai As-Sunnah yang menjadi sandaran kedua dalam
hukum Islam setelah Al-Quran Al-Karim. Kami sarikan dari apa yang telah
dituliskan dalam kitab-kitab ulama serta para peneliti Islam dalam bidang
As-Sunnah An-Nabawiyyah.
Pada
pembahasan ini, akan dipaparkan mengenai pengertian As-Sunnah, kedudukannya
dalam syariat Islam, wajibnya berpegang teguh dengannya, peranannya dalam
mendampingi Al-Quran, kemudian diakhiri dengan pembagian As-Sunnah
menjadisunnah qouliyyah, fi’liyyah dan taqririyyah disertai dengan
contoh-contohnya.
Semoga
risalah ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri serta para pembaca sekalian,
sehingga kita dalam beragama ini berada di atas ilmu dan bashiroh serta
terhindar dari jalan setan dan kesesatan.
PENGERTIAN
AS-SUNNAH
Minggu, 07 Juli 2013
Bersedekah Agar Ditambahkan Rizkinya Di Dunia Syirik?
Diantara perkara-perkara yang disangka merusak keikhlasan, bahkan dianggap perbuatan kesyirikan adalah
Kedua : Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari'at
Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu" (QS Al-Baqoroh : 198)
Kedua : Beribadah disertai dengan niat mencari kemaslahatan dunia yang dizinkan oleh syari'at
Banyak dalil yang menunjukan akan hal ini, diantaranya firman Allah
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ
"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu" (QS Al-Baqoroh : 198)
Para ulama telah sepakat bahwa seseorang yang melaksanakan ibadah haji sambil berdagang maka hajinya sah, berdasarkan ayat ini. Tentunya seseorang yang berhaji sambil berdagang tidaklah ia memaksudkan dengan perdagangannya untuk riyaa'. Karenanya perdagangannya tersebut bukanlah kesyirikan. Akan tetapi niatnya adalah ia berhaji sambil berdagang, dan berdasarkan ayat ini Allah membolehkan niat seperti ini.
Contoh lagi sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
دَاوُوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ
"Obati orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah" (Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhiib no 744)
SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan
ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama
As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi
tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari
ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia menggilirkan
kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah memunculkan di tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan
kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
Sabtu, 06 Juli 2013
Penjelasan Para ‘Ulama tentang Penentuan Ramadhan dan Idul Fitri Berdasarkan Hisab Falaki
Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan berdasarkan
Hisab Astronomis tidak memiliki dasar hukum sama sekali, baik dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah maupun ijma’. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan dalil-dalil
di atas. Lebih dari itu, bahwa generasi as-salafush shalih telah bersepakat
bahwa cara penentuan Ramadhan adalah hanya dengan ru`yatul hilal.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata dalam Fathul Bâri ketika
menjelaskan hadits :
« إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب ، الشهر هكذا وهكذا وهكذا » يعني
مرة تسعة و عشرين و مرة ثلاثين
Kami adalah umat yang ummiy, kami tidak
menulis dan tidak menghitung. Satu bulan itu begini, begini, dan begini. Yakni
terkadan 29 hari, terkadang 30 hari.
HADITS QUDSI
Definisi
Qusi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu
sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan,
atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan
oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau
kepada Allah ta’ala.
Jumat, 05 Juli 2013
PUASA DAN HARI RAYA BERDASARKAN HISAB ATAU RU’YAH?
Bulan puasa dan hari raya adalah dua peristiwa yang penuh makna bagi
umat Islam. Sudah pasti, semua kaum muslimin akan menyambutnya dengan
penuh gembira. Namun, makna bulan puasa seringkali terusik dengan adanya
perbedaan awal penentuan puasa. Hari raya-pun terasa kurang bahagia
jika kita berbeda-beda saat merayakannya. Sungguh benar ungkapan orang:
“Bersatu itu indah, berbeda itu susah”.
Sungguh, masyarakat sangat merasakan perbedaan tersebut sebagai
polemik yang tak ringan di tengah kehidupan mereka. Sekalipun banyak
para tokoh sudah menghibur mereka bahwa perbedaan ini merupakan rohmat ,
namun dalam praktek di lapangan ternyata banyak menimbulkan kepiluan
yang mengarah pada perpecahan .
Bila kita telusuri, ternyata salah satu sumber perbedaan di atas
adalah masalah cara penentuan awal mulai masuknya bulan puasa dan hari
raya di kalangan ormas-ormas Islam. Sebagian mereka bersandar pada
ru’yah dan sebagian lagi bersandar pada hisab.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit membahas
masalah ini sebagai sumbangsih sederhana menuju kebaikan bagi kita
semua . Semoga Allah melapangkan hati kita semua untuk menerima
kebenaran dan meninggalkan kesombongan dan fanatik golongan. Amiin.
Defenisi Ru’yah dan Hisab
Ru’yah adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan
bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtima’ (bulan
baru). Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat
bantu potik seperti teleskop . Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan baru hijriyyah.
Sedangkan hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis
untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainnya awal bulan hijriyyah.
Cara Penentuan Bulan Secara Islami
Tatkala Allah mensyari’atkan kepada para hambaNya untuk melakukan
ibadah puasa dan hari raya, maka sudah pasti Allah juga tidak lupa untuk
menjelaskan cara untuk menentukan waktunya. Oleh karenanya, melalui
lisan rasulNya, Allah menjelaskan hal ini secara gamblang. Nabi
bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا.
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
Hadits ini dan hadits-hadits semisalnya yang banyak sekali
menunjukkan kepada kita bahwa Syari’at Islam hanya menggunakan dua cara
yang meyakinkan untuk mengetahui masuk dan berakhirnya bulan Ramadhan
yaitu ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 30 hari apabila
tidak kelihatan bulan sabit), karena hal itu lebih mudah dan lebih
meyakinkan.
Bolehkah Penentuan Puasa dan Hari Raya Dengan Hisab?
Bila kita cermati dalil-dalil tentang masalah ini berdasarkan
Al-Qur’an, hadits dan keterangan para ulama, niscaya kita akan dapati
bahwa penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan ilmu hisab adalah
pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. Berikut
sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab:
1. Dalil Al-Qur’an
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir (melihat) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqoroh: 185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat.
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat.
2. Dalil Hadits
Hadits-hadits Nabi banyak sekali yang memerintahkan untuk melihat
hilal atau menyempurnakan, dan tak pernah sekalipun beliau menganjurkan
untuk menetapkannya dengan ilmu hisab.
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
3. Dalil Ijma’
Ijma’ tentang tidak bolehnya penggunaan hisab dalam penentuan ini
telah dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Jashosh dalam Ahkamul
Qur’an 1/280, Al-Baaji dalam Al-Muntaqo Syarh Muwatho’ 2/38, Ibnu Rusyd
dalam Bidayatul Mujtahid 1/283-284, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Majmu Fatawa 25/132-207, As-Subuki dalam Al-Ilmu Al-Mantsur hlm. 6, Ibnu
Abidin dalam Hasyiyahnya 2/387 dan lain sebagainya .
4. Dalil Akal
Penentuan puasa dengan ru’yah sesuai dengan pokok-pokok syari’at
Islam yang dibangun di atas kemudahan di mana ru’yah bisa dilakukan oleh
semua manusia dan cara ini juga akan membawa kepada persatuan dan
kebersamaan, berbeda dengan ilmu hisab yang masing-masing akan
mempertahankan pendapat dan penelitiannya sendiri-sendiri.
Mengurai Beberapa Syubhat
Sebagian kalangan berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Ramadhan
boleh ditentukan dengan ilmu hisab. Mereka membawakan beberapa argumen
yang bila diteliti ternyata argumen tersebut adalah lemah . Berikut
penjelasannya secara ringkas:
1. Dalil Al-Qur’an
Mereka berdalil dengan ayat berikut:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ ۚ مَا
خَلَقَ اللَّـهُ ذَٰلِكَ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ ﴿٥﴾
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).
Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia
menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang
mengetahui. (QS. Yunus ayat: 5)
Jawab:
1. Mana konteks dari ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut?! Lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?! Ataukah ini adalah cara kalian untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat?!
1. Mana konteks dari ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut?! Lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?! Ataukah ini adalah cara kalian untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat?!
2. Ayat di atas hanyalah menjelaskan tentang fungsi manzilah-manzilah
bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
2. Dalil Hadits
Mereka berdalil dengan hadits:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا ثَلاَثِينَ يَوْمًا
Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian
melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka
sempurnakanlah tiga puluh hari. (HR. Bukhori 4/106 dan Muslim 1081)
Mereka mengartikan
Mereka mengartikan
فَاقْدُرُوْا
yakni perkirakanlah dengan ilmu hisab.
Jawab:
1. Makna hadits ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafadz menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus didahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang difahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah sempurnakanlah bukan perkirakanlah.
Jawab:
1. Makna hadits ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafadz menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus didahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang difahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah sempurnakanlah bukan perkirakanlah.
2. Dalam riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrok 1/423 dan Al-Baihaqi
dalam Sunan Kubro 4/204 dengan sanad shohih, Rasulullah menggabung
penafsiran tersebut dengan “sempurnakanlah”. Lalu adakah yang lebih
jelas lagi dari penafsiran Rasulullah?!
3. Dalil Ucapan Ulama
Mereka mengatakan bahwa penggunaan hisab telah diperbolehkan oleh
ulama-ulama sejak dahulu seperti Muthorrif bin Abdillah, Ibnu Qutaibah
dll.
Jawab:
1. Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
1. Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
2. Anggaplah shohih, tetap ucapan ulama bukanlah dalil bila bertentangan dengan nash yang jelas.
3. Maksud ucapan mereka adalah khusus pada saat cuaca pada malam 30
Sya’ban/Ramadhan adalah mendung, bukan jauh-jauh hari telah ditetapkan
bahwa hari puasa atau hari raya akan jatuh pada hari ini atau itu, baik
mendung atau cerah sebagaimana dilakukan oleh sebagian organisasi yang
menggunakan hisab.
4. Dalil Qiyas
Menggunakan qiyas (analogi) waktu puasa dengan waktu sholat.
Sebagaimana boleh menggunakan hisab untuk waktu sholat demikian juga
boleh untuk puasa.
Jawab:
1. Ini adalah qiyas yang bathil, karena qiyas yang bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat juga bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
1. Ini adalah qiyas yang bathil, karena qiyas yang bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat juga bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
2. Dalam sholatpun apabila kalender bertentangan dengan waktu sholat,
maka yang menjadi patokan adalah waktu sholat dan kalender yang salah
tidak boleh digunakan.
3. Allah membedakan antara sholat dan puasa, karena Allah menjadikan
tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat zhuhur, demikian
juga waktu-waktu shalat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab
tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh
karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu
shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab,
tetapi dengan salah satu diantara dua perkara: Pertama: Melihat Hilal.
Kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila
tidak terlihat hilal. Wallahu A’lam.
5. Dalil Akal
Mereka mengatakan bahwa Islam mendukung perkembangan modern dan
dengan hisab akan terwujud persatuan kaum muslimin dalam puasa dan hari
raya.
Jawab;
1. Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syari’at.
1. Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syari’at.
2. Persatuan dengan hisab menyelisihi fakta, bahkan inilah salah satu
faktor utama perbedaan yang ada. Bukankah sesama ahli hisab juga
berbeda?! Aduhai, katakanlah padaku bukankah seandainya ormas-ormas
Islam mau bersepakat bersama pemerintah dalam puasa dan hari raya
niscaya akan minim sekali perbedaan yang ada?! Apalagi pemerintah dalam
ini memilih ru’yah yang disepakati bersama bolehnya dan kebenarannya?!
Kenapa kita tidak bersama pemerintah dalam hal ini dan meninggalkan
pendapat kita untuk kemaslahatan persatuan bersama?! Ataukah ini adalah
kesombongan dan fanatisme golongan yang membutakan pandangan?!
Hisab Bukanlah Sesuatu Yang Yakin
Sebagian orang yang menyangka bahwa alat-alat modern untuk ilmu hisab
sekarang bisa dikatakan pasti dan yakin. Namun pada kenyataan di
lapangan, ternyata itu hanyalah prasangka belaka saja . Berikut beberapa
buktinya:
- Banyak beberapa fakta di lapangan yang membuktikan terjadinya beberapa kesalahan dalam perhitungan ilmu hisab, di mana seringkali diberitakan di media bahwa ahli hisab mengatakan tidak mungkin terlihat bulan, tetapi ternyata bulan dapat dilihat dengan jelas oleh beberapa saksi yang terpercaya.
- Kegoncangan ilmu hisab, di mana sebagian Negara berpedoman pada ilmu hisab, namun aneh bin ajaibnya bahwa jarak selisihnya sampai 2 hingga 3 hari. Nah, apakah ada di dunia ini selisih jarak seperti ini dalam kelender hijriyyah?!!
- Adanya perbedaan kalender antara sesama ahli hisab sendiri dalam satu Negara.
- Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ilmu kedokteran sekarang telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan peralatan-peralatan yang sangat canggih. Namun, sekalipun demikian tetap saja terjadi kesalahan di sana sini, padahal berkaitan langsung dengan panca indra manusia. Lantas, bagaimana dengan ilmu hisab yang sangat tersembunyi hasilnya?! Akankah kita meninggalkan sesuatu yang yakin dan mengambil yang ragu-ragu?!
- Ilmu hisab dibangun di atas alat-alat modern yang seperti halnya alat-alat lainnya terkadang terjadi kesalahan, baik penggunanya merasakan atau tidak.
Hisab Bertentangan Dengan Syari’at
Tatkala hisab keluar dari jalur syari’at maka menimbulkan beberapa hal yang bertentangan dengan syari’at, di antaranya:
- Ada perbedaan dalam penetapan bulan antara cara perhitungan syari’at dan ilmu hisab, di mana bilangan bulan dalam pandangan syari’at mungkin 29 hari atau 30 hari, sedangkan dalam pandangan ilmu hisab satu bulan itu sebanyak 29 hari hari, 12 jam ditambah 44 detik.
- Dalam pandangan syari’at bahwa saat awan tertutup maka disempurnakan 30 hari, sedangkan dalam ilmu hisab mungkin ditetapkan 29 hari.
- Dalam pandangan ilmu hisab, awal bulan dimulai keluar dari sinar matahari, sedangkan dalam pandangan syari’at awal bulan dimulai dengan terlihatnya hilal baik keluar dari sinar matahari maupun tidak.
- Dalam pandangan syari’at, awal bulan dapat diketahui dengan panca indra mata dan secara tabi’at, tidak menyesatkan seorang dari agama, tidak menyibukkannya dari kemaslahatan, serta semua kaum muslimin dapat ikut serta di dalamnya. Adapun dalam ilmu hisab, semua kebaikan tersebut tidak ada.
Sebagai kata penutup, cukuplah sebagai bukti otentik tidak bolehnya
penggunaan hisab dalam hal ini bahwa kesalahan dalam ilmu hisab tidak
dimaafkan, berbeda halnya dengan kesalahan dalam ru’yah, hal itu
dimaafkan, bahkan sekalipun mereka salah mereka mendapatkan pahala
karena mereka mengikuti perintah syari’at yaitu menggunakan ru’yah. Hal
ini sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi: “Ketahuilah bahwa termasuk
kaidah fiqih adalah bahwa lupa dan bodoh menggugurkan dosa…Adapun
apabila kesalahan dikarenakan ilmu hisab maka hal itu tidak dianggap
karena mereka meremehkan”.
Sebuah Himbauan
Tulisan ini sengaja kami paparkan untuk mengajak seluruh umat Islam
untuk kembali pada pedoman dasar beragama kita, sebagaimana firman
Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا﴿٥٩﴾
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (QS. An-Nisa’: 59)
Tinggalkan segala fanatik golongan karena semua itu hanya akan
menjauhkan kita dari menerima kebenaran. Munculkan dalam hati kita semua
rasa ingin mencari kebenaran meskipun hal itu harus bertentangan dengan
sesuatu yang selama ini kita yakini , karena tidak ada yang ma’shum
kecuali para nabi dan rosul. Semua orang bisa menolak dan ditolak
pendapatnya kecuali Rasulullah.
Hendaknya kita selalu bertaqwa kepada Allah dan ingat bahwa masalah
ini bukan masalah pribadi dan golongan tetapi masalah syi’ar Islam yang
membutuhkan persatuan dan kebersamaan. Semoga semua itu segera
terwujudkan. Amiin.
Daftar Referensi
1. Ahkamul Ahillah wal Atsaar Al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
2. Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet Pertama 1427 H.
3. Fiqhul Al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf Ash-Shiddiqi, Dar Nafais, Yordania, cet pertama 1425 H.
4. Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim, Solo, tanpa tahun.
5. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keempat 2007.
1. Ahkamul Ahillah wal Atsaar Al-Mutarottibah Alaiha, Ahmad bin Abdillah al-Furoih, Dar Ibnul Jauzi, KSA.
2. Fiqhu Nawazil, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet Pertama 1427 H.
3. Fiqhul Al-Mustajaddat fii Babil Ibadat, Thohir Yusuf Ash-Shiddiqi, Dar Nafais, Yordania, cet pertama 1425 H.
4. Pilih Hisab atau Ru’yah, Abu Yusuf al-Atsari, Pustaka Darul Muslim, Solo, tanpa tahun.
5. Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi, karya Prof. Drs. H. Asjmuni Abdurrahman, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet keempat 2007.
copas from http://abiubaidah.com
Langganan:
Postingan (Atom)