Maka Rasulullah n berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab z:
“Jika ia (Ibnu Shayyad) adalah dia (Dajjal), engkau tidak akan mampu
mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah kamu membunuhnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad t no. hadits 6075 dan
6076. Al-Imam Al-Bukhari t dalam Kitabul Jana`iz no. hadits 1354,
Al-Imam Muslim t dalam Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah no. hadits
2930, Al-Imam Abu Dawud t, dalam Kitabul Malahim bab Fi Khabari Ibnu
Sha’id no. hadits 4329, Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Kitabul Fitan ‘an
Rasulillah no. hadits 2175.
Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah, beliau memberitakan:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ انْطَلَقَ مَعَ رَسُولِ اللهِ n فِي رَهْطٍ قِبَلَ ابْنِ
صَيَّادٍ حَتَّى وَجَدَهُ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ عِنْدَ أُطُمِ بَنِي
مَغَالَةَ، وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ يَوْمَئِذٍ الْحُلُمَ، فَلَمْ
يَشْعُرْ حَتَّى ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ n ظَهْرَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ
رَسُولُ اللهِ n لاِبْنِ صَيَّادٍ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟
فَنَظَرَ إِلَيْهِ ابنُ صَيَّادٍ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ
الْأُمِّيِّينَ. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ لِرَسُولِ اللهِ n: أَتَشْهَدُ
أَنِّي رَسُولُ اللهِ؟ فَرَفَضَهُ رَسُولُ اللهِ n فَقَالَ: آمَنْتُ
بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ، ثُمَّ قَال لَهُ رَسُولُ اللهِ n: مَاذَا تَرَى؟
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأْتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ. فَقَالَ لَهُ
رَسُولُ اللهِ n: خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُولُ
اللهِ n: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ:
هُوَ الدُّخُّ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ n: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ
قَدْرَكَ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ذَرْنِي، يَا رَسُولَ اللهِ
أَضْرِبْ عُنُقَهُ. فَقَال لهُ رَسُولُ اللهِ n: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ
تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ.
وَقالَ سالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ
يَقُوْلُ: بَعْدَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ n وَ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ
(الْأَنْصَارِيُّ) إِلَى النَّخْلِ الَّتِي فِيْهَا ابْنُ صَيَّادٍ، إِذَا
دَخَلَ رَسُولُ اللهِ n النَّخْلَ طَفِقَ يَتَّقِي بِجُذُوعِ النَّخْلِ
وَهُوَ يَخْتِلُ أَنْ يَسْمَعَ مِنِ ابْنِ صَيَّادٍ شَيْئاً قَبْلَ أَنْ
يَرَاهُ ابْنُ صَيَّادٍ، فَرَآهُ رَسُولُ اللهِ n وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى
فِرَاشٍ فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ، فَرَأَتْ أُمُّ ابْنِ
صَيَّادٍ رَسُولَ اللهِ n وَهُوَ يَتَّقِي بِجُذُوعِ النَّخْلِ، فَقَالَتْ
لاِبْنِ صَيَّادٍ: يَا صَافِ! –وَهُوَ اسْمُ ابْنِ صَيَّادٍ- هَذَا
مُحَمَّدٌ، فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: لَوْ
تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Bahwasanya Abdullah ibnu ‘Umar c memberitakan bahwa ‘Umar z
berangkat bersama Rasulullah n dengan sekelompok orang menemui Ibnu
Shayyad. Mereka melihatnya tengah bermain-main dengan sejumlah anak
laki-laki di dekat benteng dari tembok batu Bani Maghalah. Ketika itu
Ibnu Shayyad adalah seorang bocah yang usianya mendekati baligh, dalam
keadaan tidak memerhatikan (kami) hingga Rasulullah n menepuknya dengan
tangan beliau dan berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan
Allah?” Ibnu Shayyad melihat Rasulullah n dan berkata: “Aku bersaksi
bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).”
Kemudian Ibnu Shayyad bertanya kepada Rasulullah n: “Apakah anda
bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?” Rasulullah n menyangkalnya dan
berkata: “Aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah n
berkata (kepada Ibnu Shayyad): “Apa yang kamu lihat?” Ibnu Shayyad
menjawab: “Datang kepadaku yang jujur dan yang dusta.” Rasulullah
berkata kepadanya: “Tercampur padamu persoalan ini.” Lalu Rasulullah n
berkata kepadanya (bermaksud menguji): “Aku sembunyikan sesuatu
untukmu?” Ibnu Shayyad menebak: “Ad-Dukh (asap/kabut).” Rasulullah n
berkata: “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang
telah Allah takdirkan padamu.” Mendengar hal itu ‘Umar z berkata: “Ya
Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya.” Rasulullah n berkata:
“Apabila dia (adalah Dajjal), engkau tidak mampu mengalahkannya. Dan
jika bukan, sia-sialah membunuhnya.”
(Ibnu ‘Umar c menambahkan): “Di kemudian hari ketika Rasulullah
pergi bersama Ubai bin Ka’b z ke (kebun) kurma, bertemu kembali dengan
Ibnu Shayyad di sana (yang sedang berbaring). Rasulullah n bermaksud
mendengarkan sesuatu (igauan) dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad
melihatnya. Rasulullah n melihat Ibnu Shayyad berbaring di atas kasur
ditutupi selembar selimut. Terdengar mulutnya bergumam dari balik sebuah
batang pohon kurma. Kemudian ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah n. Ia
pun membangunkan Ibnu Shayyad: “Wahai Shaf! Ada Muhammad di sini.” Ibnu
Shayyad pun bangun. Rasulullah n berkata: “Jika ibunya membiarkan dia
(tidak mengganggunya), maka perkara Ibnu Shayyad akan terungkap
(jelas).”
Penjelasan Mufradat Hadits
فِي رَهْطٍ
Artinya sekumpulan dari kaum laki-laki, mulai dari 3 sampai 10 orang.
ابْنِ صَيَّادٍ
Pada sebagian riwayat menggunakan ابْنِ صَائِدٍ seperti dalam
Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Abu Sa’id Al-Khudri c, hadits
no. 2926 dan 2927, Sunan Abi Dawud bab Fi Khabari Ibni Sha`id dari
hadits Ibnu ‘Umar c no. hadits 4329. (Lihat Sunan Abi Dawud ta’liq
Asy-Syaikh Al-Albani t, cet. Maktabah Al-Ma’arif)
الصِّبْيَانِ
Dalam riwayat lain dengan lafadz الْغِلْمَانِ jamak dari kata
غُلَامٌ dengan men-dhammah huruf ghain dan memfathah huruf lam tanpa
ditasydid, yaitu masa sejak kelahiran hingga baligh, dan jika yang
dimaksud adalah seorang anak setelah masa baligh, maka dinamai dengannya
sebagai kiasan. (Lihat Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 1/155)
عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ
Dengan men-dhammah huruf hamzah dan tha, maka jamaknya أُطُمُ atau
أُطُومٌ artinya benteng yang dibangun dengan tembok batu, atau setiap
rumah persegi empat beratapkan semuanya.
بَنِي مَغَالَةَ
Pada sebagian naskah ابْنِ مَغَالَةَ dan yang masyhur dengan بَنِي مَغَالَةَ dengan mem-fathah mim dan ghain tanpa di-tasydid.
Dalam riwayat Muslim t dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani
dengan lafadz Bani Mu’awiyah dengan men-dhammah mim dan menggunakan ‘ain
bukan ghain.
Ulama berkata: “Yang masyhur dan dikenal adalah yang pertama بَنِي مَغَالَةَ.”
Al-Qadhi t berkata: “بَنِي مَغَالَةَ yaitu mereka yang di bagian
kanan atau di sisi kanan seseorang jika berdiri menghadap ke Masjid
Nabawi.”
وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ
Dalam riwayat lain قَدْ نَهَزَ الْـحُلُمَ yaitu قَدْ قَارَبَ الْبُلُوغَ maknanya mendekati masa baligh.
فَلَمْ يَشْعُرْ
Dengan men-dhammah huruf ‘ain bermakna Ibnu Shayyad tidak mengetahui kedatangan Rasulullah n karena dalam keadaan lalai.
Ibnu Shayyad berkata:
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ الْأُمِّيِّينَ
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin
(orang-orang yang ummi).” Maksudnya adalah orang-orang Arab, karena
kebanyakan mereka tidak bisa menulis dan membaca. Meskipun ditinjau dari
sisi lafadz benar, tetapi ditinjau dari sisi makna mengandung
kebatilan. Dari sisi, kalimat ini mengandung makna bahwa Rasulullah n
diutus hanya untuk orang-orang Arab dan tidak kepada orang-orang ‘ajam,
sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Kalimat ini walaupun
dimaksudkan untuk membenarkan kerasulan, tapi termasuk dari sekian
jumlah bisikan kedustaan yang didatangkannya. Dan itu berasal dari
setan.
فَرَفَضَهُ
Riwayat ini terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim. Maknanya menyangkal.
Al-Qadhi t berkata: “Riwayat kami, dalam hal ini dari jamaah,
menggunakan shad (فَرَفَصَهُ) yang bermakna menendang. Sebagian ulama
berkata: الرَّفَصُ dengan shad maknanya adalah memukul dengan kaki
seperti الرَّفس dengan menggunakan huruf sin artinya menendang/menyepak.
Jika benar riwayat ini, maka itulah maknanya.”
Dan di dalam Shahih Al-Bukhari dari riwayat Al-Marwazi dengan lafadz فَرَقَصَهُ dengan huruf qaf dan shad.
Al-Khaththabi t dalam Gharib-nya meriwayatkan dengan lafadz
فَرَصَّهُ dengan shad yaitu menekannya hingga badannya terhimpit.
Seperti firman Allah l:
بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ
“Bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Kemudian Nabi n berkata kepadanya:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُولِهِ
Jika muncul pertanyaan: Mengapa Nabi n tidak membunuhnya, padahal
ia menyeru kenabian di saat Rasulullah n ada? Jawabannya ditinjau dari
dua sisi:
Pertama: ia dalam keadaan belum baligh.
Kedua: ia berada pada waktu Rasulullah n sedang terikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan para pembesarnya.
Al-Imam Al-Khaththabi t dalam Ma’alimus Sunan memastikan jawaban
yang kedua. Beliau berkata: “Menurut saya, kisah ini terjadi pada
hari-hari perdamaian Rasulullah n dengan orang-orang Yahudi dan
tokoh-tokoh mereka. Hal itu terjadi setelah kehadiran beliau di Madinah.
Maka ditulislah sebuah perjanjian antara beliau dengan orang-orang
Yahudi. Di dalamnya terdapat ishlah agar tidak saling menyerang serta
menjauhi urusan masing-masing. Dan Ibnu Shayyad termasuk kalangan mereka
atau bagian dari mereka. Dan telah sampai kabar kepada beliau n tentang
perdukunan dan pengakuan mengetahui perkara gaib yang diserunya. Maka
Rasulullah n mengujinya supaya perkaranya jelas. Maka ketika beliau
berbicara dengannya barulah diketahui bahwa ia adalah seorang penyeru
kebatilan dari kalangan tukang sihir. Atau orang yang mendatangkan
perkataan bangsa jin atau setan yang seringkali menemuinya dan
dibisikkan padanya sebagian ucapan mereka.
قَال لَهُ رَسُولُ اللهِ: مَاذَا تَرَى
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi
menggunakan lafadz مَا يَأتِيْكَ. Maknanya, apa yang datang kepadamu
berupa berita-berita gaib dan yang semisalnya.
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
Maknanya adalah terkadang datang berita yang benar dan terkadang datang berita dusta.
خُلِّطَ عَلَيْكَ الْأَمْرُ
خُلِّطَ adalah kata kerja (fi’il) dalam bentuk pasif berasal dari kata التَّخْلِيطُ bermakna mencampuradukkan.
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Tercampur aduk berita yang dibawa setanmu.”
Al-Khaththabi t berkata: “Maknanya, dia mempunyai beberapa keadaan.
Sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Karena itu perkaranya menjadi
kabur baginya.”
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ
Artinya, aku telah sembunyikan (di dalam diriku).
خَبْيئاً
Dalam sebagian riwayat dengan lafadz خَبِيْأَةً (kata yang tersembunyi), supaya kamu beritahukan kepadaku.
هُوَ الدُّخُّ
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Yaitu dengan men-dhammah huruf dal
dan men-tasydid huruf kha` yaitu suatu istilah bagi ad-dukhan (kabut).
Dan penulis Nihayatul Gharib, menghikayatkan dengan mem-fathah dan
men-dhammah huruf dal. Adapun yang masyhur pada kitab-kitab lughah dan
hadits adalah dengan dhammah saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud
dari kata ini adalah ad-dukhan, dan itulah bahasanya.”
Dalam hal ini, Al-Imam Al-Khaththabi t tidak sependapat. Beliau
berkata: “Tidaklah kata الدُّخُّ mengandung makna ad-dukhan (kabut),
karena ia bukanlah perkara yang dapat disembunyikan pada telapak atau
lengan baju. Kecuali kalau makna ‘aku sembunyikan untukmu’ itu adalah
nama kabut dan nama kabut itu sendiri dalam hal ini diperbolehkan. Dan
yang benar serta yang masyhur bahwa Rasulullah n menyembunyikannya dari
Ibnu Shayyad ayat ad-dukhan yaitu firman Allah l:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (Ad-Dukhan: 10)
Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa ia tidak
mampu menunjukkan sebagian ayat yang disembunyikan Nabi kecuali sekedar
lafadz yang tidak sempurna, sebagaimana kebiasaan para dukun apabila
setan membisikkan kepada mereka sesuai (berita dari langit) yang mampu
ia curi sebelum meteor mengenainya.
اخْسَأْ
Dengan mem-fathah huruf sin dan mensukun hamzah. Kalimat ini
digunakan saat mengusir atau menghalau anjing. Berasal dari kata
الْخُسُوءُ bermakna زَجَرَ (mengusir atau menghalau) dan juga dipakai
untuk merendahkan atau menghinakan seperti:
زَجْرُ الْكَلْبِ أَيْ امْكُثْ صَاغِرًا أَوْ ابْعُدْ حَقِيرًا أَوْ اسْكُتْ مَزْجُورًا
“Tinggallah engkau dalam keadaan hina, menjauhlah engkau dalam keadaan rendah, diamlah engkau dalam keadaan terusir.”
فَلَنْ تَعْدُوَ
Dengan mendhammah dal, maknanya kamu tidak mampu melampaui.
قَدْرَكَ
Yaitu kemampuan yang dicapai dukun berupa pengetahuan sebagian
perkara dan hal-hal yang tidak jelas hakikatnya, serta tidak bisa
menjelaskan hakikat perkara gaib.
فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud z yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Muslim t bermakna: “Biarkan dia. Jika dia adalah orang yang kamu takuti,
kamu tidak akan mampu membunuhnya. Tidak ada kebaikan bagimu
membunuhnya.” Hal itu disebabkan karena ia masih anak-anak atau tercela
(cacat).
Dan disebutkan dalam sebuah hadits dalam Syarhus Sunnah yang
artinya: “Jika ia adalah Dajjal maka kamu bukanlah orang (yang
membunuhnya), yang membunuhnya hanyalah ‘Isa bin Maryam e. Dan jika dia
bukan Dajjal, tidak ada kebaikan bagimu dalam membunuh seorang yang
masih dalam perjanjian damai.”
وَهُوَ يَخْتِلُ
Artinya merahasiakan dan mengharapkan ia lalai, agar Rasulullah n
dapat mendengar sesuatu dari pembicaraannya. Dan beliau serta para
sahabatnya ingin mengetahui keadaannya, apakah dia dukun ataukah tukang
sihir.
فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ
زَمْزَمَةٌ pada sebagian naskah tertulis رَمْرَمَةٌ seperti yang
terdapat dalam Shahih Al-Bukhari. Al-Qadhi t telah menukil dari jumhur
riwayat yang tersebut dalam Shahih Muslim dengan زَمْزَمَةُ dan pada
sebagiannya tertulis رَمْزَةُ . Itu semuanya bermakna suara yang
lirih/pelan, nyaris tidak difahami atau tidak difahami (sama sekali).
فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ
Maknanya adalah beranjak dari tempat tidurnya dan bangun berdiri.
لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Dalam riwayat lain dari jalan Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, ia berkata: Ubai bin Ka’ab berkata: “Maksud kalimat ini adalah:
لَوْ تَرَكَتْهُ أُمُّهُ بَيَّنَ أَمْرَهُ
(Kalau saja ibunya membiarkan dia, Rasulullah n akan menjelaskan
perkaranya).” (lihat Al-Minhaj, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud,
Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi)
Perselisihan Pendapat tentang Ibnu Shayyad
Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas bahwa Ibnu Shayyad
atau dikenal juga dengan Ibnu Sha`id namanya adalah Shaf. Al-Imam
Qurthubi t menyebutkan dalam kitabnya At-Tadzkirah lil Ahwalil Mauta wa
Umuril Akhirah (hal. 570), tentang perkara Ibnu Shayyad, bahwa ada
sejumlah hadits dari beberapa sahabat seperti Jabir bin Abdillah, Ibnu
‘Umar, Abu Sai’d Al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’b g.
Abu Sulaiman Al-Khaththabi t mengatakan telah terjadi perselisihan
yang banyak dan rumit di kalangan manusia menyangkut Ibnu Shayyad. Di
antara sahabat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yaitu
‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar g
(At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 571-572)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya (Kitabul Fitan
no. hadits 2929) dari jalan Muhammad ibnul Munkadir, ia berkata: “Aku
melihat Jabir bin Abdillah c bersumpah (dengan menyebut nama Allah)
bahwa sesungguhnya Ibnu Sha`id adalah Dajjal. Aku bertanya: “Apakah
engkau bersumpah dengan menyebut nama Allah l?” Beliau menjawab:
“Sesungguhnya aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththab z bersumpah dalam
perkara ini di sisi Nabi n dan beliau n tidak mengingkarinya.”
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan: “Riwayat ini dijadikan dalil oleh
beberapa ahlul ilmi akan bolehnya bersumpah dalam perkara yang tidak
pasti (zhan) dan tidak disyaratkan harus dalam perkara yang pasti
(al-yaqin). Dan ini adalah perkara yang disepakati menurut madzhab kami
(Asy-Syafi’iyyah).” (Al-Minhaj, 18/ 258-259)
Dalam riwayat yang lain dari jalan Ibnu ‘Aun, dari Nafi’, ia
berkata: Nafi’ berkata tentang Ibnu Shayyad: Ibnu ‘Umar c berkata: “Aku
bertemu dengannya dua kali. Pertemuan (pertama) aku berkata kepada salah
seorang dari mereka: ‘Apakah kalian membicarakan bahwa dia adalah
Dajjal?’ Salah seorang menjawab: ‘Bukan, demi Allah!’ Aku berkata: ‘Demi
Allah, engkau berdusta kepadaku. Sungguh sebagian kalian telah
mengabarkan kepadaku bahwa Dajjal tidak akan mati sampai ia menjadi
orang yang terbanyak harta dan anaknya di antara kalian sebagaimana dia
yang dibicarakan hari ini.” Ibnu ‘Umar c melanjutkan: “Kami
berbincang-bincang setelah itu. Lalu aku berpisah dengannya.” Ibnu ‘Umar
c mengatakan: “Aku bertemu dengannya lagi dan matanya telah membengkak.
Aku bertanya: ‘Kapan matamu bengkak seperti yang aku lihat?’ Ia
menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian aku bertanya lagi: ‘Engkau tidak
tahu, padahal mata itu berada di kepalamu?’ Ia pun menjawab: ‘Jika Allah
menghendaki, Allah akan menciptakan mata itu pada tongkatmu ini.’ Ibnu
‘Umar berkata: ‘Diapun mendengus keras seperti suara dengusan keledai
yang pernah aku dengar. Hingga sebagian sahabatku mengira aku memukulnya
dengan tongkat yang bersamaku hingga patah. Dan demi Allah, aku tidak
merasa’.”
Kemudian diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id
Al-Khudri z, ia berkata: “Aku menemani Ibnu Shayyad dalam sebuah
perjalanan menuju Makkah. Ia pun berkata kepadaku: ‘Aku telah menjumpai
beberapa orang. Mereka menyangka bahwasanya aku ini adalah Dajjal.
Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya Dajjal
itu tidak beranak?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Iapun berkata: ‘Sungguh
telah lahir dariku seorang anak -dalam sebagian riwayat: aku tinggalkan
anakku di Madinah-.’
‘Bukankah engkau telah mendengar Rasulullah berkata: ‘Dajjal tidak
akan masuk Madinah dan Makkah’?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Ia pun berkata:
‘Aku dilahirkan di Madinah dan sekarang ini aku menuju Makkah.’
Pada riwayat yang lain: “Bukankah Nabiyullah telah berkata bahwa dia seorang Yahudi dan sungguh aku seorang muslim?”
Kemudian di akhir pembicaraannya ia berkata kepadaku: “Demi Allah,
sungguh aku tahu di mana lahirnya, tempatnya, dan di mana dia sekarang.”
Abu Sa’id berkata: “Ia pun mengacaukan/mengaburkan perkara ini terhadapku.”
Al-Imam Al-Qurthubi t menjelaskan: “Hikmah yang terdapat dalam
perkara Ibnu Shayyad adalah sebuah fitnah (ujian) yang dengannya Allah l
menguji hamba-hamba-Nya yang mukmin. Agar orang yang binasa itu menjadi
binasa dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu
menjadi hidup dengan keterangan yang nyata pula. Sungguh Allah l telah
menguji kaumnya Nabi Musa q di zamannya dengan seekor anak sapi.
Binasalah sebagiannya dan selamatlah orang-orang yang Allah l beri
petunjuk.
Telah terjadi perselisihan riwayat tentang perkara Ibnu Shayyad
setelah dia tua. Ada riwayat yang menyatakan ia bertaubat dari apa yang
telah ia ucapkan. Ia kemudian meninggal di Madinah. Tatkala mereka ingin
menyalatkan jenazahnya disingkaplah wajahnya sampai orang-orang
melihatnya dan dikatakan kepada mereka: ‘Saksikanlah oleh kalian.’
Kemudian beliau berkata: Syaikh (Abu Sulaiman) berkata: ‘Yang benar
dalam perkara ini adalah sebaliknya, berdasarkan sumpah Jabir bin
Abdillah c, ‘Umar bin Al-Khaththab z,, yang menyatakan bahwa Ibnu
Shayyad adalah Dajjal. Dan diriwayatkan pula bahwa Abu Dzar z berkata:
‘Dia adalah Dajjal’.” (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah
hal. 572)
Ibnu Hajar t menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal
yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang akan keluar di akhir zaman,
dengan beberapa alasan, yang bisa dilihat dalam Fathul Bari dan
Asyrathus Sa’ah (ed).
Wallahu a’lam.
sumber : http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar