Label

Rabu, 26 Juni 2013

Menyingkap Kebatilan Teori Darwin

Sebagian manusia ada yang meyakini bahwa asal penciptaan manusia berasal dari kera. Jadi, menurut teori ini, manusia awalnya berbentuk kera. Lalu mengalami perkembangan dan evolusi yang mengubah struktur dan bentuk tubuh mereka lebih sempurna; cara berpikir juga berkembang, dan perlahan-lahan berubah bentuk dari monyet jadi manusia sempurna

Inilah “teori evolusi” batil yang pernah dicetuskan oleh Darwin. Teori ini didasari oleh sangkaan dan perkiraan-perkiraan batil yang tidak dibangun di atas dalil dari wahyu.
Ini adalah Silsilah Fatwa(no.3) yang berisi fatwa-fatwa pilihan dari para ulama’ ahlus sunnah wal Jama’ah. Kru buletin mungil Al-Atsariyyah kali ini akan mengangkat beberapa permasalahan aqidah yang bertebaran di masyarakat beserta jawabannya dari fatwa-fatwa tersebut.

Rubrik fatwa kali ini dan seterusnya –insya Allah- akan kami nukilkan dari fatwa-fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Hasan bin Qu’ud, Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman bin Ghudayyan, Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alusy Syaikh, dan Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Muhammad bin Mani’ -rahimahumullah-. Para ulama’ kita ini tergabung dalam suatu lembaga yang disebut dengan “Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’”.

Adakah Makhluk yang Mengatur Alam Semesta ?
Ada sebuah keyakinan yang tersebar di kalangan masyarakat –utamanya kalangan tasawwuf- bahwa para wali memiliki kemampuan untuk mengatur alam semesta. Karenanya, sebagian orang yang ekstrim diantara mereka, ada yang meyakini –secara batil- bahwa setiap malam Jum’at para wali berkumpul di sekitar Ka’bah untuk membicarakan dan merapatkan tentang pengurusan dan pengaturan alam semesta. Konon kabarnya, hadir waktu itu seluruh wali-wali yang mati, maupun masih hidup. Ini tentunya adalah perkara batil, dan dusta; menyelisihi nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah!!

Para ulama’ kita yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya, “Apakah orang yang meyakini bahwa ada orang yang mampu mengatur alam semesta?

Para ulama’ kita tersebut memberikan jawaban, “Orang yang meyakini hal itu adalah kafir, karena ia telah mempersekutukan Allah dalam rububiyah (seperti, pengaturan alam semesta. -pent). Bahkan ia lebih kafir dibandingkan kebanyakan kaum musyrikin yang telah mempersekutukan Allah bersama yang lain dalam uluhiyah (penyembahan dan ibadah)“.[Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (1/58), cet. Dar Balansiyah, 1421 H]

Jadi, seorang yang meyakini bahwa disana ada makhluk, baik ia nabi, malaikat, dan lainnya yang mampu mengatur alam semesta, maka ia adalah orang yang murtad dari agama Allah. Termasuk dalam hal ini, orang yang meyakini ada yang mampu menyelamatkan orang dari marabahaya, mampu mengatur rezqinya, jodohnya, dan kematian seorang makhluk. Semua ini adalah kekafiran yang nyata, wal ‘iyadzu billah min dzalik !!

Kebatilan Teori Darwin
Sebagian manusia ada yang meyakini bahwa asal penciptaan manusia berasal dari kera. Jadi, menurut teori ini, manusia awalnya berbentuk kera. Lalu mengalami perkembangan dan evolusi yang mengubah struktur dan bentuk tubuh mereka lebih sempurna; cara berpikir juga berkembang, dan perlahan-lahan berubah bentuk dari monyet jadi manusia sempurna. Inilah “teori evolusi” batil yang pernah dicetuskan oleh Darwin. Teori ini didasari oleh sangkaan dan perkiraan-perkiraan batil yang tidak dibangun di atas dalil dari wahyu.
Para ulama’ telah memberikan pengingkaran atas teori Darwin ini, karena menyelisihi nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para salaf. Oleh karenanya, Syaikh bin Baaz dan ulama’ sejawatnya yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ memberikan jawaban terhadap pertanyaan seputar teori Darwin dengan menyatakan dengan tegas, “Pendapat ini tak benar !! Dalil yang membuktikan hal itu (yakni, kebatilan teori Darwin), Allah -Ta’ala- telah menjelaskan dalam Al-Qur’an tentang periode penciptaan Adam seraya berfirman,
Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah” (QS. Ali Imraan: 59).
Kemudian tanah ini dibasahi sehingga menjadi tanah liat yang melengket pada tangan.
Allah -Ta’ala- berfirman,
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah“. (QS. Al-Mu’minun: 12).
Allah -Ta’ala- berfirman,
Sesungguhnya kami Telah menciptakan mereka dari tanah liat“. (QS. Ash-Shaaffat: 11).
Kemudian menjadi lumpur hitam yang diberi bentuk.
Allah -Ta’ala- berfirman,
Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk“. (QS. Al-Hijr: 26).
Kemudian setelah menjadi kering, maka ia menjadi tanah kering seperti tembikar.
Allah -Ta’ala- berfirman,
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar“. (QS. Ar-Rahman: 14).
Allah membentuknya sesuai bentuk yang dikehendaki oleh Allah, dan meniupkan ruh padanya dari ruh-ruh (ciptaan)-Nya.
Allah -Ta’ala-’ berfirman,
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Lalu apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud“. (QS.Al-Hijr :28-29).
Inilah periode-periode yang dilalui penciptaan Adam menurut Al-Qur’an. Adapun periode-periode yang dilalui oleh penciptaan anak-cucu Adam, maka Allah -Ta’ala- berfirman,
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik“. (QS. Al-Mu’minun: 12-14).
Adapun istri Adam (yakni, Hawwa’), maka Allah -Ta’ala- pun menjelaskan bahwa Dia menciptakannya dari Adam seraya berfirman,
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu“. (QS. An-Nisaa’:1).
Wabillahit taufiq. Washollahu alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi washohbihi wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (1/68-70), cet. Dar Balansiyah, 1421 H ]

Jangan bilang, “Khalifah Allah !!”
Di sebagian literatur dan karya tulis, sebagian orang menggunakan istilah “Khalifah Allah“. Padahal penggunaan kata dan istilah seperti ini adalah sebuah bentuk kekeliruan. Karena khalifah artinya pengganti. Allah tak perlu digantikan, Allah senantiasa ada dan mengawasi kita; Dia tak pernah mati sebagaimana layaknya makhluk. Adapun makhluk jika ia berkuasa dahulu, lalu ia mati, maka ia digantikan oleh penggantinya yang disebut dengan “khalifah”.

Syaikh bin Baaz dan ulama’ sejawatnya yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya, “Aku pernah mendapatkan dalam sebagian kitab-kitab suatu ungkapan yang berbunyi “Kalian –wahai kaum muslimin- adalah khalifah Allah di Bumi“.  

Apa hukumnya ungkapan itu??”
Maka para ulama’ kita tersebut memberikan jawaban, “Ungkapan ini tak benar dari segi maknanya, karena Allah; Dialah Sang Maha Pencipta segala sesuatu, dan Pemiliknya. Allah tak pernah meninggalkan makhluk dan kerajaan-Nya sehingga Allah harus mengambil khalifah (pengganti) baginya di bumi. Allah hanyalah menjadikan sebagian orang menjadi khalifah (pengganti) bagi yang lain di bumi. Setiap kali seorang mati, atau jama’ah atau ummat, maka Allah jadikan sebagiannya sebagai khalifah (pengganti) bagi yang lainnya dalam mengatur bumi sebagaimana Allah -Ta’ala- berfirman,
Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. Al-An’aam:165).
Allah -Ta’ala- berfirman,
Kaum Musa berkata: “Kami Telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), Maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu“. (QS. Al-A’raaf: 129).
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS.Al-Baqoroh :30).

Maksudnya, sejenis makhluk yang akan menggantikan yang sebelumnya dari kalangan makhluk-makhluk-Nya . Wabillahit taufiq. Washollahu alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi washohbihi wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta’ (1/71-72), cet. Dar Balansiyah, 1421 H ]

Dikutip dari: http://almakassari.com

Apakah yang dimaksud dengan amal shalih itu?



Apakah yang dimaksud dengan amal shalih itu?
Apa saja syarat yang harus kita penuhi agar amalan kita diterima oleh Allah subhanahu wata'ala?

Apakah akibatnya apabila kita tidak ikhlas salam beribadah?
Insya Allah artikel berikut akan menjelaskannya kepada kita.
Para pembaca yang mulia- semoga Allah subhanahu wata'ala merahmati kita semua-, Allah subhanahu wata'ala Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana telah menetapkan bahwa di antara hamba-hamba-Nya akan ada yang mengalami hidup bahagia dan akan ada yang mengalami hidup sengsara. 

Namun Allah subhanahu wata'ala adalah Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, melalui lisan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam, Dia subhanahu wata'ala juga telah menunjukkan kepada umat manusia ini mana jalan yang akan mengantarkan kepada hidup bahagia dan mana jalan yang akan menjerumuskan kepada jurang kesengsaraan. 

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari serta kemudian mematuhi dan mengamalkan rambu-rambu yang telah terpasang di jalan yang menuju kepada hidup bahagia tersebut. Allah subhanahu wata'ala sebagai pemilik kehidupan ini telah menegaskan dalam Al Qur'an,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang bahagia. ” (An Nahl: 97) 

Allah subhanahu wata'ala mensyaratkan kepada seorang mukmin yang menginginkan hidup bahagia, agar mereka beramal shalih. Allah subhanahu wata'ala berjanji, barangsiapa yang beramal shalih niscaya akan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
 
“Barangsiapa yang beramal shalih baik laki-laki maupun perempuan dan dia beriman, maka mereka akan masuk ke dalam Al Jannah dan mereka tidak akan dianiaya sedikit pun. ” (An Nisa': 124) 

Apakah Amal Shalih itu?
Tidaklah semua amal baik yang dilakukan oleh seseorang bisa dikatakan sebagai amalan shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala. Seperti yang telah dikhabarkan oleh nabi shalallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ, وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهْرُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar rasa lapar, dan betapa banyak orang yang menegakkan shalat malam, tidaklah dia mendapatkan pahala kecuali sekedar bergadang saja. ” (HR. Ibnu Majah, An Nasa'i)

Lihatlah wahai pembaca yang mulia, ternyata amalan puasa dan shalat malam yang dilakukan, tidak memberikan manfaat bagi dirinya, Allah subhanahu wata'ala tidak menerima amalan tersebut, tidak memberi pahala kepadanya, dan yang ia peroleh hanya sebatas rasa lapar dan payah belaka. Karena Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya shalallahu 'alaihi wasallam telah menetapkan dalam syariat Islam ini, bahwa suatu amalan disebut amal shalih yang diterima di sisi Allah subhanahu wata'ala jika terpenuhi padanya dua syarat:

Syarat pertama adalah ikhlas. 
Amalan yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk mengharapkan ridha Allah subhanahu wata'ala, bukan karena terpaksa atau karena mengharapkan pujian orang lain, atau dalam rangka untuk mencari jabatan, kekayaan, popularitas dan semisalnya dari perkara-perkara duniawi. 

Syarat kedua, amalan itu haruslah sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. 
Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunan (ajaran)nya dari kami, maka amalan itu akan tertolak (di sisi Allah subhanahu wata'ala). ” (HR. Muslim) 

Bagaimana bisa seperti itu? Kita ambil contoh amalan shalat. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya bahwa shalat Maghrib itu tiga raka'at. Maka barangsiapa yang mengerjakan shalat Maghrib empat raka'at, tentu shalatnya tidak sah dan secara otomatis akan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala. Kedua syarat itulah pada hakekatnya merupakan realisasi dari Asy Syahadatain (dua kalimat Syahadat: Laa Ilaaha Illallah – Muhammadurrasulullah). Ketika seseorang telah mengikrarkan bahwa Allah subhanahu wata'ala lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk diibadahi, maka sudah seharusnya bagi dia untuk mempersembahkan seluruh ibadahnya ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala. Dan ketika dia telah menyatakan bahwa Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah Rasulullah, maka hendaknya dia siap, tunduk, dan patuh untuk menjalankan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala sesuai dengan tuntunan/ajaran Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Allah subhanahu wata'ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaknya dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan sesuatu apa pun dalam beribadah kepada-Nya. ” (Al Kahfi: 110) 

Al Imam Ibnu Katsir mengatakan: Ini adalah dua rukun amalan agar diterima (di sisi Allah subhanahu wata'ala), yaitu ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala dan sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. 
Jika hilang salah satu dari kedua syarat tersebut, maka amalan seseorang akan tertolak dan tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Maka barangsiapa yang beramal dengan niat ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, namun tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, maka amalannya tertolak, dan sebaliknya barangsiapa yang beramal dengan amalan yang sesuai dengan tuntunan/ajaran Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, namun tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya pun juga tertolak.
Peranan Niat dalam Amalan dan Kewajiban Ikhlas di dalamnya
Setiap amalan itu tergantung pada niatnya sebagaimana sabda nabi shalallahu 'alaihi wasallam:

“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan (dari amalannya) sesuai dengan niatannya. ” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Seseorang yang beramal dengan niatan ikhlas untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata'ala, dia akan mendapatkannya Insya Allah. Dan barangsiapa yang beramal namun dengan niatan untuk mendapatkan perkara yang sifatnya materi (duniawi) dan tidak ikhlas karena Allah subhanahu wata'ala, maka amalan itu tidak ada nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala. Boleh jadi dia akan mendapatkan apa yang diinginkan tersebut, tapi Allah subhanahu wata'ala tidak akan memberikan keridhaan-Nya kepadanya, bahkan Allah subhanahu wata'ala mengancam orang yang seperti ini dengan firman-Nya,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُون* أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan usaha mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali An Nar (neraka) dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. ” (Hud: 15-16) 

Betapa pentingnya permasalahan ikhlas ini, sampai-sampai Al Imam An Nawawi menjadikan wajibnya ikhlas sebagai bab pertama dalam kitab beliau yang barakah Riyadhush Shalihin. Adapun dalil yang menunjukkan wajibnya ikhlas dalam semua amalan ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala adalah firman-Nya,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya. ” (Al Bayyinah: 5)

Seseorang yang beramal bukan dalam rangka mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala, berarti dia telah menjadikan sekutu dan tandingan bagi Allah subhanahu wata'ala dalam ibadah. Inilah kesyirikan yang dilarang dalam agama ini. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan (tidak mempedulikan) pelakunya dan perbuatannya. ” (HR. Muslim)

Orang yang berbuat syirik kepada Allah subhanahu wata'ala, maka amalannya akan terhapus dan tertolak di sisi Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Jika engkau berbuat syirik, maka sungguh amalan-amalanmu akan terhapus dan engkau termasuk orang-orang yang merugi. ” (Az Zumar: 65) 

Tipu Daya Iblis
Para pembaca, tentunya kita tidak lupa akan perbuatan Iblis yang membangkang ketika Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepadanya untuk sujud kepada Nabi Adam ?. Allah subhanahu wata'ala mengusir Iblis dari Al Jannah, maka Iblis menyatakan sebagaimana yang Allah subhanahu wata'ala kisahkan dalam Al Qur'an,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأرْضِ وَلأغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ *إِلا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ *
“Iblis berkata: “Wahai Rabbku, oleh sebab Engkau telah menyesatkanku, pasti aku akan menjadikan mereka (anak cucu Adam) memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka. ” (Al Hijr: 39-40)

Iblis bertekad untuk menyesatkan umat manusia ini seluruhnya, kemudian Iblis mengecualikan orang-orang yang ikhlas, karena Iblis tidak akan mampu untuk menyesatkan mereka.
Ini menunjukkan bahwa misi utama Iblis adalah menyesatkan umat manusia dari jalan Allah subhanahu wata'ala dengan memalingkan mereka dari keikhlasan kepada-Nya. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيْءٍ مِنْ شَأْنِهِ
“Sesungguhnya setan akan selalu hadir menggoda salah seorang diantara kalian pada setiap keadaannya. ” (HR. Muslim)

Hendaknya kita semua berhati-hati dari makar setan ini, karena setan senantiasa akan menggoda, menyesatkan, dan memalingkan kita dari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Senantiasa kita koreksi niat-niat kita dalam beramal. Semoga Allah subhanahu wata'ala menjadikan kita termasuk di antara hamba-hamba-Nya yang Mukhlishin. Akibat tidak Ikhlas
Berikut ini akan kami sampaikan sebuah hadits nabi shalallahu 'alaihi wasallam yang menceritakan keadaan orang-orang yang tidak ikhlas dalam amalannya, Beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya),
“Sesungguhnya manusia yang pertama dihisab pada hari kiamat nanti adalah seseorang yang mati syahid, di mana dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Saya berjuang di jalan-Mu sehingga saya mati syahid’. Allah berfirman, ‘Kamu berdusta, kamu berjuang (dengan niat) agar dikatakan sebagai pemberani, dan hal itu sudah terpenuhi. ’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke An Nar (neraka). Kedua, seseorang yang belajar dan mengajar serta suka membaca Al Qur'an, dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya, kemudian ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’. Ia menjawab, ‘Saya telah belajar dan mengajarkan Al Qur'an untuk-Mu’. Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu belajar Al Qur'an (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang alim (pintar), dan kamu membaca Al Qur'an agar dikatakan sebagai seorang Qari' (ahli membaca Al Qur'an), dan hal itu sudah terpenuhi. ’ Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang itu yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar. Ketiga, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dikaruniai berbagai macam kekayaan, lalu dia dihadapkan dan diperlihatkan kepadanya nikmat yang telah diterimanya serta ia pun mengakuinya. Kemudian dia ditanya, ‘Apakah yang kamu gunakan terhadap nikmat itu?’ Ia menjawab, ‘Tidak pernah aku tinggalkan suatu jalan yang Engkau sukai untuk berinfaq kepadanya, kecuali pasti aku akan berinfaq karena Engkau. ’ Allah berfirman, ‘Kamu dusta, kamu berbuat itu (dengan niat) agar dikatakan sebagai orang yang dermawan, dan hal itu sudah terpenuhi’. Kemudian Allah memerintahkan untuk menyeret orang tersebut yang akhirnya dia dilemparkan ke dalam An Nar. ” (HR. Muslim)
Demikianlah ketiga orang yang beramal dengan amalan mulia tetapi tidak didasari keikhlasan kepada Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala lemparkan mereka ke dalam An Nar. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut.
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عز وجل لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang menuntut ilmu yang semestinya dalam rangka untuk mengharap wajah Allah, tetapi ternyata tidaklah dia menuntutnya kecuali hanya untuk meraih sebagian dari perkara dunia, maka dia tidak akan mendapatkan aroma Al Jannah pada hari kiamat nanti. ” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah) 

Akhir kata, semoga ulasan edisi kali ini mendorong kita untuk selalu mengoreksi ibadah yang telah kita lakukan baik kualitas maupun kuantitasnya. Semoga Allah subhanahu wata'ala mengampuni kekurangan-kekurangan ibadah kita yang telah lalu dan menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang mukhlishin. Amin, Ya Rabbal alamin. 

Mutiara Faedah
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda (artinya):
“Barang siapa yang berwudhu' lalu berjalan menuju rumah Allah (masjid) untuk menunaikan kewajiban shalat yang telah diwajibkan oleh Allah, maka salah satu langkah kakinya dapat menghapus dosa dan langkah lainnya dapat mengangkat derajatnya. ” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Masjid merupakan syi'ar agama Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan, bukan hanya dari sisi fisiknya saja, namun yang paling utama adalah meramaikan masjid itu dengan menghidupkan berbagai macam kegiatan (ibadah) yang dianjurkan oleh syariat, seperti menghidupkan sholat jama'ah lima waktu. Allah subhanahu wata'ala adalah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang sehingga tidak akan menyia-nyiakan amalan seseorang, bahkan Allah subhanahu wata'ala membalasnya dengan jauh lebih baik dari apa yang ia kerjakan, sebagaimana hadits di atas. 

sumber: www. darussalaf. or. id

Khitan bagi Wanita

Bagi masyarakat muslim Indonesia, khitan bagi anak laki-laki adalah sebuah perkara yang sangat wajar, meskipun di sana sini masih banyak yang perlu diluruskan berhubungan dgn pelaksanaan sunnah bapak para nabi (Ibrohim ‘alaihissalam). Namun, bagi kaum hawa, khitan menjadi sebuah perkara yang sangat jarang dilakukan, bahkan bisa saja masih menjadi sesuatu yang tabu dilakukan oleh sebagian orang, atau bahkan mungkin ada yang mengingkarinya. Padahal tentang disyariatkannya khitan bagi kaum wanita adalah sesuatu yang benar-benar ada dlm syariat islam yang suci ini, & setahu kami (penulis) tak ada khilaf ulama mengenai hal ini. Khilaf di kalangan mereka hanya berkisar antara apakah khitan itu wajib dilakukan oleh kaum wanita ataukah sekedar sunnah (mustahab). Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit penjelasan tentang permasalahan ini.

Pengertian Khitan
Khitan secara bahasa diambil dari kata (ختن ) yang berarti memotong. Sedangkan al-khatnu berarti memotong kulit yang menutupi kepala dzakar & memotong sedikit daging yang berada di bagian atas farji (clitoris) & al-khitan adalah nama dari bagian yang dipotong tersebut. (lihat Lisanul Arab, Imam Ibnu Manzhur).
Berkata Imam Nawawi, “Yang wajib bagi laki-laki adalah memotong seluruh kulit yang menutupi kepala dzakar sehingga kepala dzakar itu terbuka semua. Sedangkan bagi wanita, maka yang wajib hanyalah memotong sedikit daging yang berada pada bagian atas farji.”(Syarah Sahih Muslim 1/543, Fathul Bari 10/340)

Dalil Disyariatkannya Khitan
Khitan merupakan ajaran nabi Ibrohim ‘alaihissalam, & umat ini diperintahkan untuk mengikutinya, sebagaimana dlm QS. An-Nahl: 123,
ثم أوحينا إليك أن اتبع ملّة إبراهيم حنيفا
“Kemudian Kami wahyukan kapadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrohim, seorang yang hanif.”
Disebutkan dlm Tufatul Maudud, halaman 164 bahwa Saroh ketika menghadiahkan Hajar kepada nabi Ibrohim ‘alaihissalam , lalu Hajar hamil, hal ini menyebabkan ia cemburu. Maka ia bersumpah ingin memotong tiga anggota badannya. Nabi Ibrohim ‘alaihissalam khawatir ia akan memotong hidung & telinganya, lalu beliau menyuruh Saroh utk melubangi telinganya & berkhitan. Jadilah hal ini sebagai sunnah yang berlangsung pada para wanita sesudahnya.
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قاال رسول الله صلي الله عليه وسلم : خمس من الفطرة : الاستحداد والختان، وقص الشارب،ونتف الابط،وتقليم الأظفا ر.
Dari Abu Harairah radhiyallahu’anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ” lima hal yang termasuk fitroh yaitu: mencukur bulu kemaluan, khitan, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, & memotong kuku.” (HR. Imam Bukhori & Imam Muslim)

Hukum Khitan bagi Wanita
a. Ulama yang mewajibkan khitan, mereka berhujjah dgn beberapa dalil:
1. Hukum wanita sama dgn laki-laki, kecuali ada dalil yang membedakannya, sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ummu Sulaim radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wanita itu saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Daud 236, Tirmidzi 113, Ahmad 6/256 dgn sanad hasan).
2. Adanya beberapa dalil yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut khitan bagi wanita, diantaranya sabda beliau:
إذ التقى الختا نا ن فقد وجب الغسل
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Tirmidzi 108, Ibnu Majah 608, Ahamad 6/161, dgn sanad shahih).
عن عائسة رضي الله عنها قالت,قال رسول الله صلي الله هليه و السلم : إذ جلس بين شهبها الأربع و مسّ الختان الختان فقد وجب الغسل.
Dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila seorang laki-laki duduk di empat anggota badan wanita & khitan menyentuh khitan maka wajib mandi.” (HR. Bukhori & Muslim)
عن أنس بن مالك, قال رسول الله صلي الله عليه والسلم لأمّ عاطية رضي الله عنها : إذا خفضت فأشمي ولا تنهكي فإنّه أسرى للوجه وأحضى للزوج.
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu’anhu berkata, Rosulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ummu ‘athiyah,”Apabila engkau mengkhitan wanita biarkanlah sedikit, & jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah & lebih disenangi oleh suami.”(HR. Al-Khatib)
3. Khitan bagi wanita sangat masyhur dilakukan oleh para sahabat & para shaleh sebagaimana tersebut di atas.
b. Ulama yang berpendapat sunnah, alasannya:
Menurut sebagian ulama tak ada dalil secara tegas yang menunjukkan wajibnya, juga karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air kencing yang najis yang terdapat pada tutup kepala dzakar, sedangkan suci dari najis merupakan syarat sahnya sholat. Sedangkan khitan bagi wanita tujuannya utk mengecilkan syahwatnya, jadi ia hanya utk mencari sebuah kesempurnaan & bukan sebuah kewajiban. (Syarhul Mumti’, Syaikh Ibnu Utsaimin 1/134)
Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah pernah ditanya, “Apakah wanita itu dikhitan ?” Beliau menjawab, “Ya, wanita itu dikhitan & khitannya adalah dgn memotong daging yang paling atas yang mirip dgn jengger ayam jantan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, biarkanlah sedikit & jangan potong semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah & lebih disenangi suami.’ Hal ini karena, tujuan khitan laki-laki ialah utk menghilangkan najis yang terdapat dlm penutup kulit kepala dzakar. Sedangkan tujuan khitan wnaita adalah utk menstabilkan syahwatnya, karena apabila wanita tak dikhitan maka syahwatnya akan sangat besar.” (Majmu’ Fatawa 21/114)
Jadi, khilaf mengenai hukum khitan ini ringan, baik sunnah atau wajib keduanya adalah termasuk syariat yang diperintahkan, kita harus berusaha utk melaksanakannya.
Waktu Khitan
Terdapat beberapa hadits yang dgn gabungan sanadnya mencapai derajat hasan yang menunjukkan bahwa khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, yaitu:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, bahwasannya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan & Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani & Baihaqi)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)
Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan & mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dgn perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Namun, meskipun begitu, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, & Thabrani).
Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib & waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Yang paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran & disunnahkan agar tak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur. (Fathul Bari 10/342).
Walimah Khitan
Acara walimah khitan merupakan acara yang sangat biasa dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, atau mungkin juga di negeri lainnya. Persoalannya, apakah acara semacam itu ada tuntunannya atau tidakk ?

Utsman bin Abil ‘Ash diundang ke (perhelatan) Khitan, dia enggan utk datang lalu dia diundang sekali lagi, maka dia berkata, ” Sesungguhnya kami dahulu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak mendatangi walimah khitan & tak diundang.” (HR. Imam Ahmad)
Berdasarkan atsar dari Utsman bin Abil’Ash di atas, walimah khitan adalah tak disyariatkan, walaupun atsar ini dari sisi sanad tak shohih, tetapi ini merupakan pokok, yaitu tak adanya walimah khitan. Karena khitan merupakan hukum syar’i, maka setiap amal yang ditambahkan padanya harus ada dalilnya dari Al-Qur’an & As Sunnah. Dan walimah ini merupakan amalan yang disandarkan & dikaitkan dgn khitan, maka membutuhkan dalil utk membolehkannya. Semoga Allah ta’ala memudahkan kaum muslimin utk menjalankan sunnah yang mulia ini.

Di ringkas oleh Ummu Ibrohim, dari:
Khitan bagi Wanita, Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Al-Furqon edisi 6 Tahun V/ Muharram 1427/ Februari 200
Khitan bagi Wanita, Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari, As Sunnah edisi 1/V/1421 H/2001 M
sumber: www.muslimah.or.id

Sayyidul Istighfar (Istighfar yang Paling Utama)

اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ

Ya Allah, Engkau adalah Rabbku. Tiada Ilah yang haq melainkan Engkau. Engkau telah menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, aku di atas perjanjian-Mu sesuai kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amalanku. Aku mengakui nikmat-nikmat-Mu yang Engkau anugerahkan kepadaku, aku mengakui dosa-dosaku. Ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosaku melainkan Engkau.”
Barangsiapa membacanya di waktu siang dalam keadaan meyakini maknanya kemudian ia meninggal pada hari itu sebelum petang maka ia termasuk penduduk surga. Dan barangsiapa membacanya di waktu malam dalam keadaan meyakini maknanya kemudian ia meninggal sebelum masuk waktu subuh maka ia termasuk penduduk surga.” (HR. Al-Bukhari dari sahabat Syaddad ibnu Aus radhiyallahu ‘anhu)

Sumber : http://asysyariah.com penulis: Oleh Ust. Abu Muhammad Abdul Jabbar judul: Istighfar yang Paling Utama

Taqlid, Beramal Dengan Pendapat Seseorang atau Golongan Tanpa Didasari Dalil


Kiai-ku lebih pintar dari kamu!”, “Imamku-lah yang paling benar!”, ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat. 

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.
Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhnsuburkan taqlid.
Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya para dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.
Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Innaa ilaihi raji’un.
Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan.
Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” (Al A’raf: 12) 

Definisi Taqlid
Taqlid secara bahasa bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak.
Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (Az-Zukhruf: 21-25)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: “Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas –hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang-orang yang biasa bermewah-mewah: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.”
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah.” (At-Taubah: 31)
Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’.” (Al-Anbiya’: 52-53)
Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.” (Az-Zukhruf: 24)
Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.
Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.
Al-‘Allamah Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.
Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!” (Al-Hasyr: 7)
Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallahu a’lam bish-shawab.
Daftar bacaan 1 Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr, 2 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, 3 Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi, 4 Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani, 5 Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki, 6 Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani, 7 Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi, 8 Al-Ihkam, Ibnu Hazm, 9 Al-Ihkam, Al-Amidi 

Dikutip dari http://www.asysyariah.com, Penulis : Al-Ustadz Idral Harits , Judul asli: Taqlid Dan Fanatisme Golonga

Selasa, 25 Juni 2013

TAHLILAN ADALAH BID'AH MENURUT MADZHAB SYAFI'I





Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?

Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!

A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!".

          Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

          Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan??!!

Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!



B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

          Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)



C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara Tahlilan

Banyak hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya acara tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".

Al-Qoffaal  (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan !!!



KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut…

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan "duduk-duduk untuk ta'ziyah" adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis

(2) Hal ini hanya menambah biaya

(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)



KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah

Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)



D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya tahlilan adalah :

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika seseorang telah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana  beliau berkata, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban dengan tulisan dan dalil !!"

Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah di Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :

"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama….

Penulis Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"…

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim dst"…

Ditulis oleh pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…

Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)



Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)

Kedua :  Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

-         Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

-         Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.

Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.

Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:

-         Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat

-         Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

-         Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

-         Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!

-         Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!

copas from : www.firanda.com
(Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda)